Dilamar

1.5K 60 1
                                    

Hari itu, Naya sudah mulai pulih dari sakitnya. Pagi pagi sekali Naya sudah terbangun dan bergegas untuk segera berangkat ke kampus.

Dengan terburu buru, Naya menuruni tangga menuju ruang makan keluarga.

"Ma, Naya sarapan di kampus saja ya ma.. Sudah telat banget.. "

Tutur Naya, lalu segera mengecup pipi mamanya yang tengah menyiapkan sarapan.

"Nay... Tunggu.. "

Ucapnya Abahnya yang baru keluar dari kamar utama.

Naya menghentikan langkahnya di muka pintu setelah mendengar titah dari suara yang sangat dihormatinya.

"Nay, nanti pulang cepat ya nak, abah mau bicara sesuatu.. "

Perintah abah Naya.

Naya mengangguk pelan. Meskipun dia juga tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh Abahnya nanti. Seolah olah tidak mau memperpanjang isi hatinya untuk mengetahui maksud abahnya, Naya mengiyakan perintah abahnya lalu segera pergi ke kampus.

Sampainya di kampus.

Naya menelusuri koridor lantai utama kampus Airlangga. Naya tidak peduli, bahwa ketika dia sedang berjalan banyak mahasiswa yang memperhatikannya. Matanya menyoroti setiap sudut ruangan, namun nihil. Seseorang yang diharapkan untuk didapatinya, tak kunjung nampak di pelupuk mata.

Kemana perginya kamu Fatan?

Setelah jam mata kuliah Hukum Islam, Naya segera bergegas menuju perpustakaan dan berdiam disana. Membaca buku teologi kesukaannya sekaligus bernostalgia. Ya, semua ini karena Fatan.

Karena jarak antara perpustakaan dan musholla sangatlah dekat, membuat Naya merasa nyaman berlama lama disana. Hingga jam menunjukkan pukul 16.00 dia baru tersadar, atas pesan abahnya tadi pagi. Sesegera mungkin, Naya membereskan barang barangnya dan pulang.

Karena Sarah, tidak ada kuliah hari ini, akhirnya Naya memutuskan untuk menaiki taksi.

Hari sudah mulai gelap, Naya kini sudah sampai di depan rumahnya yang berpagarkan besi berwarna coklat emas.

Setelah turun dari taksi, Naya mendapati sebuah dua mobil asing terparkir di depan garasi mobilnya. Satunya toyota C-HR berwarna silver begitu elegant, sementara satunya Suzuki swift lembut dengan warna putihnya.

"Siapa yang datang? "

Pikir Naya.

Naya melangkahkan kakinya menuju teras rumahnya, mengetuk pintu dan mengucapkan salam, seperti biasa.

"Waalaikumussalam.. "

Terdengar suara beberapa orang menjawab salam Naya serempak.

"Nah, alhamdulillah ... Itu pasti Naya"

Ucap Mama Naya di hadapan para tamu yang sedang dijamunya.

Naya memasuki ruang tamu dan mendapati beberapa orang sedang duduk disana. Semua mata kini tertuju kepadanya.

"Subhanallah.. Ini Naya ya? Cantik sekali.."

Sanjung seorang perempuan berumur sekitar 45 tahunan menggunakan gamis berwarna hitam dengan kerudung berwarna krem berpayet manik di sekitar dadanya.

Naya yang merasa tidak mengenali perempuan tersebut, spontan langsung menyambut tangan perempuan tersebut untuk menyalaminya, sopan.

Melihat Naya yang begitu kebingungan, Mama Naya segera menarik tangan Naya dan duduk di shofa.

"Naya, ini Ibu Nyai Shofiya, sepupu abah dari Pasuruan.. "

Naya tersenyum ramah.

"Ini Kiai H. Ahmad Syadzili, suami beliau sekaligus teman seperjuangan abah di pondok dulu.. "

Naya menundukkan kepalanya setelah diperhatikan oleh seorang yang memakai sarung, berbaju koko putih dengan sorban hijau di bahunya. Juga tersenyum kepadanya.

"Dan... Ini... "

Kata Mama Naya, lalu lanjut memperkenalkan seorang laki laki berjas hitam, duduk menunduk begitu maskulin di shofa dekat abah Naya. Naya menoleh ke arah laki laki tersebut.

"Ini H. Fatih Hizbullah Syadzili, putra sulung beliau berdua yang baru menyelesaikan Magisternya di Maroko"

Lelaki yang bernama Fatih itu, mengangkat wajahnya dan menatap Naya sebentar.

Naya menahan nafasnya sekejap. Matanya kini tak berkedip, shock tak percaya.

"An.. Antum?? Ustadz.. Yang.. "

Ucap naya gelagapan setelah melihat jelas wajah laki laki dihadapannya.

"Loh? Kalian sudah pernah ketemu? Kok udah pada kenal?

Ucap Ibu Nyai Shofiya.

Mama Naya mencolek Naya, meminta kejelasan.

"Beliau Ustadz yang mengisi seminar di kampus Naya kemarin Ma... "

Papar Naya.

"Masyaallah... Sudah pernah ketemu berarti ya... "

Ucap KH. Ahmad lalu tertawa ringan diikuti oleh gelak tawa Abah Naya, H. Abdullah.

"Hmm.. Langsung saja, Nak Naya... Kedatangan kami sekeluarga kesini, untuk melamar ananda untuk anak kami, Fatih Hizbullah Syadzili... "

Ucap KH. Ahmad dengan penuh wibawa.

Deg.

Ya Allah.. Apa ini?

Naya terperangah. Nafasnya seolah olah terhenti. Sesak melanda. Matanya terperanjat, badannya melemas. Kenapa mendadak begini?

Entah apa yang dirasakan oleh Naya saat ini. Kenapa dadanya begitu sesak? Sesaat, bayangan Fatan terlintas sekilas di matanya. Mata Naya mulai memanas.

Mama Naya, menyentuh tangan Naya yang mulai dingin, seolah mengerti, Mama Naya menetralkan suasana.

"Mari Kiai dan ibu nyai, hidangannya... Nak Fatih juga.. "

Naya masih terdiam. Tanpa diperintah siapapun, di dalam hatinya selalu terdetik nama Fatan.

"Nak... "

Tegur abah Naya. Melihat tingkah aneh Naya. Yang diam membisu dengan mata berkaca kaca.

Naya berbisik kepada Mamanya.

"Naya tidak enak badan Ma... Naya pikir, Naya butuh istikharah dulu... "

Mama Naya menghela nafas panjang lalu tersenyum.

"Maaf pak Kiai dan bu Nyai, Naya sepertinya masih kaget, boleh Naya minta waktu untuk istikharah... Bagaimana?"

"Berapa lama waktu yang antum pinta? "

Tanya Fatih, dengan suara halusnya.

Bibir Naya tak mampu berkata kata. Gemuruh hatinya terus saja bergejolak. Kini semua mata tertuju padanya.

"Sa...satu Minggu.. "

Jawab Naya, samar.

"Baiklah, saya terima dan akan saya tunggu.. "

Jawab Fatih, tegas.

"Wah.. Mantap sekali kayaknya anak Abah nih ya.. "

Respon K. Ahmad menyaksikan ketegasan dan kemantapan atas jawaban yang dilontarkan anak sulungnya tersebut.

Semua kembali tertawa ringan.

Akhirnya, malam tersebut. Keluarga K. Ahmad meninggalkan rumah H. Abdullah. Prosesi peminangan telah selesai. Kini tinggal menunggu jawaban dari Naya.

Untukmu, ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang