Nostalgic

1.3K 65 2
                                    

Naya berlari melewati koridor menuju ke arah kamarnya. Fahad yang berada di gendongannya hanya terdiam tak mengerti atas apa yang tengah terjadi dengan bundanya.

Naya mendudukkan Fahad di atas ranjang, sementara dirinya duduk bersimpuh di sisi ranjang.

Bibirnya gemetar. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya kini berubah pucat.

Naya mulai melemah. Kepala sedikit pening. Akhirnya dia menjatuhkan dirinya  di atas lantai.

Naya tak sadarkan diri.

Sesaat setelah adzan maghrib berkumandang, ibu Nyai Shofiya menuju kamar Naya. Ibu Nyai mencoba mengetuk pintu kamar Naya beberapa kali namun tak ada jawaban. Akhirnya beliau pun memutuskan untuk langsung memasuki kamar.

Ibu Nyai Shofiya tersentak, melihat Fahad merengek di atas kasur sementara Naya terbaring di atas lantai. Beliau panik dan langsung mencari bantuan.

"Astagfirullah.. Ada apa Nak...? "

Teriak Ibu Nyai Shofiya panik.

"Tolong tolong... "

Ibu Nyai Shofiya meminta bantuan.

Tak lama, datanglah Nyai Sumayyah bersama suaminya Kiai Fudail.

"Ada apa dengan Naya? "

Tanya Ibu Nyai Sumayyah ikut panik.

"Ndak tau mbak... Tiba tiba sudah terbaring lemas begini.. "

Ibu Nyai Shofiya tambah panik.

"Uwesss.. Panggilkan bidan Tuti.. Jangan terlalu panik... Abah wes.. Jaga anae.. "

Ucap Kiai Fudail memecah kepanikan dan menggendong Fahad yang mulai menangis kencang.

"Siti... Panggil bidan Tuti ya nak.. "

Teriak Ibu Nyai Sumayyah kepada santrinya yang terpaku di pintu kamar.
Santriwati tersebut langsung berlari menuju sebuah klinik yang terletak di depan pondok pesantren.

"Uwesss tenang.. Tidak terjadi apa apa.  "

Ucap Kiai Fudail yang tengah menggendong Fahad dan berjalan keluar.

Tak lama, datanglah bidan Tuti bersama Siti, salah seorang santriwati tadi.

Bidan Tuti langsung memeriksa tensi Naya serta suhu tubuh Naya.

"Bagaimana bu? Ada apa dengan menantu saya? "

Tanya Ibu Nyai Shofiya, khawatir.

Bidan Tuti tersenyum lembut.

"Ndak apa apa bu Nyai.. Mbak ini hanya kecapean dan kurang energi.. Sehingga badannya sangat lemas, sepertinya mbaknya juga punya maag jadi drop dan pingsan.. "

Jelas Bu Tuti.

"Jadi, bagaimana dok? "

Tanya Ibu Nyai Sumayyah.

"Tidak apa, mbak ini hanya butuh istirahat yang cukup bu nyai.. Nanti kalau sudah sadar, jangan lupa makan nasi lalu minumkan obat ini ya bu.. "

Ucap Bu Tuti lalu mengeluarkan beberapa pc pil berbungkus silver dan kuning.

"Terimakasih Bu... "

Ucap Ibu Nyai Sumayyah dan Shofiya bersalaman.

Bu Tuti meninggalkan kamar.

Ibu Nyai Shofiya mengelus kepala Naya. Beliau duduk di sisi kasur. Wajahnya nampak prihatin melihat kondisi Naya.

"Semenjak meninggalnya Fatih, kulo ndak pernah lihat Naya tersenyum apalagi tertawa lepas... Kasihan sekali... "

Isak Ibu Nyai Shofiya.

Ibu Nyai Sumayyah pun ikut prihatin. Dan memegang pundak ibu Nyai Shofiya, menguatkan.

"Kulo paham mbak... Bagaimana pun juga mereka masih pengantin baru, cinta baru saja menyemai di antara mereka, dan Fahad sangat membutuhkan sosok ayah... "

Ucap Ibu Nyai Sumayyah.

Ibu Nyai Shofiya menggangguk.

"Benar sekali mbak.. bagaimana pun juga,  Naya harus melanjutkan kehidupannya, dia memiliki masa depan... "

Ibu Nyai Shofiya mulai tak kuasa menahan air mata.

Ibu Nyai Sumayyah menggangguk paham.

"Nanti kita carikan solusi bersama sama ya, mbak... "

****

Kiai Fudail membawa Fahad yang masih merengek menuju masjid.

Di masjid, seluruh santri sedang bertilawah membentuk halaqoh per kelompok mengaji dan ada juga yang menyetorkan hafalan.

Kiai Fudail menuju arah mimbar. Disana beliau bertemu dengan salah seorang Ustadz yang tengah mengontrol setiap halaqoh.

"Masyaallah Kiai... Ini cucu Kiai..? "

Tanya Ustadz yang tengah menggunakan gamis putih tersebut.

"Iya cucu dari saudara ana..."

Jawab Kiai Fudail.

"ana coba bantu kiai.. "

Ucap Ustadz menawarkan bantuan.

"Syukron Ustadz Fatan.. "

Fatan mengambil balita lucu dari gendongan Kiai Fudail dan menggendongnya. Fahad mulai terhenti dari isakannya dan menatap wajah asing yang tengah menggendongnya.

"Adikk... Namanya siapa..? "

Tanya Fatan mencoba untuk berdialog.

Fahad tiba tiba tersenyum melihat wajah Fatan.

Kiai Fudail pun kaget.

"Wah antum hebat ya, langsung berhenti nangis nya.. Sepertinya sudah waktunya deh... "

Puji Kiai Fudail.

"Antum ini bisa saja, pak Kiai... "

Fatan tersipu. Lesung pipi di kedua sisi pipinya tak dapat disembunyikannya.

Hati Fatan berdesir sesekali dia menggelengkan kepala memikirkan apa yang disampaikan oleh Kiai Fudail. Fatan berlalu sembari membawa Fahad berkeliling sambil mengontrol halaqoh santri.

Untukmu, ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang