Rasa yang tetap sama

1.4K 68 3
                                    

Fatan

Tetes demi tetes air yang turun dari langit itu seolah olah menjadi backsound kesendirianku saat ini.

Aku sengaja memilih tempat ini, agar tidak ada seorang pun yang tau keberadaanku saat ini.

Teras belakang masjid.

Aku tahu, hari sudah malam, jarum jam tanganku menunjuk angka 12. Hujan turun membasahi bumi malam ini. Suara jangkrik dan kodok saling bersahutan, mungkin mereka sedang merayakan sebuah pesta sekarang.

Mereka sedang bahagia. Nah aku? Apa yang aku rasakan sekarang? Bahagiakah? Sedihkah?  Entahlah...

Kata Kiai, kita akan bersama orang yang kita cinta. Al mar'u ma'a man ahabba.
Ya, benar sekali. Aku sedang bersama orang yang aku cintai. Tapi bukan sebagai siapa siapa. Hanya sebatas orang asing.

Ya... orang asing...

Aku menundukkan kepalaku. Membenamkan wajahku di atas lututku. Dingin. Penuh kesedihan. Kehampaan. Kekecewaan. Kehancuran. Astagfirullah. Sesedih itukah diriku?

Hey, Fatan. Sadarlah. Dia sudah menjadi istri orang lain. Dia bukan siapa siapa bagimu. Dia tengah berbahagia.

Iya. Aku harus sadar. Dan harus mengakui kenyataan. Aku siapa?

Aku menyela rambutku lalu menghempaskan ke arah depan. Menarik nafas panjang lalu menghembuskannya tak beraturan.

Aku mulai meratapi dan menyesali atas apa yang telah aku lakukan di masa lampau.

Meninggalkan Naya begitu saja. Tanpa penjelasan. Aku tidak tahu, Naya juga menyimpan rasa kepadaku atau tidak. Tapi, rasaku padanya, tetaplah sama. Tak berubah sedikitpun. Aku tetaplah orang yang selalu mendambanya.

Astagfirullahal 'adzim...

Aku mohon Fat, sadarlah...
Kenapa begitu pelik seperti ini.

Debit air yang turun dari langit semakin deras. Kenapa? Langit juga bersedih atas kesedihanku?

Come on, Fat. You must move on.

"Ya Allah... "

Aku mulai mendesah. Ku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.

Tiba tiba, kurasakan dingin telapak tangan menyentuh bahuku yang memang sudah basah terkena rembesan plafon asbes dari atap yang bocor.

Aku terperanjat, kaget. Aku langsung membalikkan badanku. Dan melihat siapa yang datang.

"Kiai.... "

Aku terperanjat melihat siapa yang datang.

"Ono opo Ustadz, kok kelihatannya ada yang difikirkan? "

Aku tergopoh gopoh meraih tangan beliau dan menciuminya. Sembari menunduk dan menyembunyikan wajah kusutku aku menjawab tebakan Kiai yang sesungguhnya benar tersebut.

"Ndak ada apa apa Kiai... "

Jawabku, berbohong. Maaf ya Kiai..

"Kalau ada yang difikirkan, di galaukan, segera adukan ke Allah, ayo istirahat sebentar setelah itu bangun dan curahkan kepada Sang Pencipta... "

Ucap beliau begitu mendinginkan hati.

Aku mengangguk, mengiyakan.

"Baik, Insyaallah Kiai... "

"Ya sudah, masuklah ke kamar... Jangan lama lama di luar Ustadz, nanti sakit... "

Pesan Kiai sebelum beliau benar benar meninggalkanku.

Aku menghela nafas dan segera melaksanakan perintah Kiai yang sudah aku anggap orang tuaku sendiri.

Ya. Sudah tiga tahun lebih aku meninggalkan keluarga biologisku. Apakah Papa masih marah? Apakah mama sudah melupakanku? Apa mereka tidak merindukanku?

Sudahlah. Suatu saat nanti, aku akan tetap menemui mereka. Entah kapan waktunya. Takdir yang akan menjawab semuanya. Dan semoga mereka juga segera mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Aamiin

Batinku seraya melangkahkan kaki menuju kamarku.

Aku pun beristirahat.

Untukmu, ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang