Rasa itu

1.8K 62 0
                                    

Dua pasang mata itu kini beradu. Baru sepekan dia berpisah, tapi takdir sudah terburu buru untuk mempertemukan mereka kembali.

Fatan. Tertawa lepas, sesekali membuang muka, malu. Sementara Naya. Diam mematung dengan pipi, yang sudah berubah warna, merah bak kepiting rebus.

"Oh God.. Are you Naya, right? "

Ujar Fatan, penuh semangat.

"Fa...Fatan?"

"Yes... I am... Wow.. Ternyata Tuhan tidak mau memberikan waktu yang lama untuk kita berpisah, Nona Naya... This is the third our meeting, right.. "

Naya menelan ludah. Entah apa yang ada di dalam hati Naya saat ini. Di sisi lain, dia begitu risih dengan orang aneh dan banyak omong di depannya kini, tapi di sisi lain, ada rasa, hm.. Gimana ya.. Tau ah.. Jelasinnya gimana... Susah..

"Sedang apa disini?"

Tanya Naya, mengalihkan pembicaraan Fatan.

"Hmm.. Ini... Besok kami ada seminar... Dan saya sebagai Pj. Acaranya besok... "

Jawab Fatan.

Naya memperhatikan kain yang siap dibentangkan di depan panggung. Naya berjalan ke arah kain tersebut. Disana, terdapat Zaki yang tengah mengkonsep dekorasi dengan kain pilihan sang presiden tersebut.

"Kenapa harus warna merah, sangat kontras sekali dengan tema seminarnya"

Kritik Naya, setelah membaca Background Banner yang mencatatkan tema seminar tersebut.

Zaki tersenyum lirih, kemenangan. Dia menghadiahkan senyuman tersebut kepada sang presiden.

Sang presiden mulai kikuk. Dan kini menghampiri Naya di depan panggung.

"Really..? I think so... Saya setuju sekali dengan pendapat Nona... Zaki.. Tolong ganti warnanya ya.. Warna apa kiranya Nona? "

Pungkas Fatan, lalu melirik ke arah Naya.
Sementara Zaki, membuang senyum jailnya, sambil mendengus. Dasar

"Hijau.. Warna Hijau menunjukkan kesejukan.. Padukan dengan warna putih yang ini, pasti elegant.. "

Jawab Naya, sembari menarik kain putih panjang dekat panggung.

"Excellent Naya. Ternyata, kamu sangat berbakat dalam mendekor ya... "

Puji Fatan. Sembari melirik ke arah Zaki, yang mulai membuang muka, muka konyolnya atas sikap Presidennya yang tengah dilanda kasmaran.

Naya tersenyum tipis.

Tiba tiba datanglah Sarah dari toilet dan mendapati Naya tengah berbincang dengan sang pangeran kampus, idamannya.

"What? Kakak.... Kak Nay.. Kenal sama Kak Fatan? "

Tanya Sarah, shock. Mulutnya masih saja membentuk huruf O.

Melihat kedatangan Sarah, Zaki yang pertamanya hanya memantau dari jauh akhirnya mendekat.

"Wah.. Kenal dimana ya.. Tapi tak apa sih.. Cocok.. Kak Nay kan cantik dan Kak Fatan familiar... " Ujar Sarah, centil.

"Husshhh... Sarah... "

Naya segera mencubiti lengan adiknya yang nakal tersebut.

"Boss.. Mari kita lanjut mendekor.. "

Sentil Zaki, mengganggu ketenangan hati sang presiden ketika menatap bidadari di hadapannya. Fatan masih setengah sadar. Dia pun tersadar, ketika secara disengaja, Zaki menginjak kakinya.

"Aww.... "

Seru Fatan, kaget plus kesakitan.

"Ayok... Pres... Pekerjaan kita masih banyak.. Bangunlah dari mimpimu Boss... "

Goda Zaki.

"Hussss... "

Ujar Fatan, memukulkan kertasnya ke tubuh Zaki.

Fatan tersenyum, lalu kembali menghadap ke arah Naya.

"Datanglah besok ke acara kami.. Saya akan senang sekali kalau kamu bersedia hadir.. "

Kata Fatan, dengan nada yang sudah mulai stabil.

Naya tersenyum.

"Insyaallah... Kami balik dulu ya... Semoga sukses acaranya.. "

Jawab Naya, lalu segera berpaling menarik Sarah keluar Aula.

"Iya... "

Jawab Fatan, sembari mematung menatap kepergian Naya. Sungguh mengesankan. Pikirnya.

Sarah melepaskan tarikan dan genggaman erat kakaknya itu.

"Ih.. Kak Naya.. Kok udahan sih.. Kok keburu sekali perginya.. Padahal... Ih.. Kenapa wajah kak Naya kok berubah gini... Hayo.... Kenapa? "

Sarah menghentikan ocehannya, setelah memperhatikan wajah Naya yang memerah dan tangannya yang sedikit berkeringat.

"Nah loh... Ketahuan ya kakak nih... Pasti ada apa apa sama kak Fatan.. "

Tebak Sarah sembari menunjukkan jari telunjuknya menyentuh ujung hidung Naya yang mancung.

"Astagfirullah... Apaan sih.. Nanti kakak cerita dari awal... "

Jawab Naya. Meyakinkan Sarah agar tidak berpikir macam macam.

"Ayok ah... Pulang... "

Naya menarik tangan Sarah menuju tempat parkir. Akhirnya, untuk menutup mulut Sarah yang terus menagih untuk terus bercerita itu, Naya pun menceritakan dari awal pertemuan mereka berdua di atas motor ketika perjalanan pulang.

Sarah mengantar Naya sampai di depan pintu pagar rumahnya. Tak lama, karena ada keperluan, Sarah memilih untuk langsung pulang, tanpa mampir terlebih dahulu.

Naya memasuki rumahnya. Setelah mengucap salam.. Dia terburu buru untuk segera ke kamar nya. Saking konsennya, dia tidak menyadari kalau ada mamanya yang sedang duduk di ruang tamu memperhatikan tingkah aneh anak gadisnya tersebut. Berjalan terburu buru, dengan bibir tersenyum entah kenapa, dan wajahnya yang memerah.

Mamanya tersenyum geli.

"Kenapa si anak gadis itu ya, sampai mama pun tak diliriknya.. Apa jangan jangan.. Hehehe... Sudahlah.. "

Mama Naya bermonolog. Lalu tersenyum kembali.

Entah apa yang telah merasuki seorang Naya. Sampainya di kamar di langsung membenamkan wajah merahnya di atas bantal.

"Ya Allah.. Ada apa dengan hamba?.. Kenapa segemetar ini ketika berhadapan dengan orang itu... "

Tanyanya, sembari bercermin menatap wajahnya yang masih saja memerah.

Malam sebelum perhelatan acara seminar keesokan harinya. Sang presiden masih saja melamun, menghayalkan seorang wanita yang telah membuatnya setengah gila. Ya. Naya. Adalah sumber penyebab dari semua kehaluannya pada hari itu.

Fatan pun tidak bisa menafsirkan secara jelas. Atas apa yang tengah dialami olehnya. Siapa dia. Dia adalah orang baru yang baru sepekan yang lalu dia kenal. Perempuan berhijab dengan senyum anggunnya. Ya. Dia perempuan muslimah. Sementara dia adalah seorang kristianis. Yang patuh dan taat kepada Tuhan Yesus.

Ya, kami berbeda... Untuk apa aku harus berpikir tentangnya begitu jauh,,

Pikirnya.

Padahal sudah jelas dan nyata ada jurang yang curam yang membatasi mereka berdua. Ya.. Benar.. Batasan itu adalah keyakinan.

Tapi, bisakah Fatan memalingkan dan berbohong atas perasaan yang tak pernah diundangnya? Rasa itu datang begitu saja. Tanpa diundang. Siapa yang salah? Mencintai adalah fitrah bagi setiap orang. Tapi mungkin Fatan harus berpikir beribu kali, untuk melabuhkannya kepada orang yang ditaksirnya. Walaupun, sesungguhnya hatinya tidak bisa memungkiri bahwa dirinya sedang benar benar jatuh cinta.

Allisiya Arranaya.

Teriaknya dalam lubuk hati kecilnya.

Untukmu, ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang