Memihak Pada Takdir

1.4K 63 2
                                    

Hari  demi hari Naya harus melaluinya dengan begitu berat. Impiannya membesarkan Fahad bersama suaminya kini sudah tinggal kenangan.

Sekuat apapun Naya menolak takdir, ia tak akan pernah bisa mengelak. Hidup harus tetap berjalan. Naya tidak boleh terus terusan termenung dan terpuruk. Masa depan Fahad kini berada di tangannya.

Baginya, Fahad adalah harta terbesar yang dimilikinya saat ini. Dengan melihat wajah Fahad, Naya seolah olah tengah melihat Fatih. Fahad adalah obat rindu Naya ketika hatinya mulai memberontak rindu terhadap belahan jiwanya yang kini telah jauh darinya.

Naya dan Fahad tetap tinggal di kediaman KH. Ahmad. Ibu Nyai Shofiya sangat berharap Naya dan Fahad tetap tinggal meskipun sudah tidak ada Fatih disana. Ibu Nyai Shofiya sangat menyayangi Naya dan Fahad. Meskipun kadang, beliau sangat sedih dan menyalahkan dirinya yang telah mengizinkan Fatih untuk pergi ketika itu, namun apalah daya. Semua sudah tertuang dalam sebuah ikatan takdir.

Sementara Mama Naya kini sering mengunjungi dan Menginap di rumah besannya. Menghibur dan mengontrol keadaan putrinya.

Memang tidak bisa ditutupi atau dipungkiri, sejak sepeninggal almarhum, Naya sangat jarang untuk tersenyum lepas.  Dia lebih sering beraktifitas di kamar, atau sesekali mengisi taklim di rumah saja tanpa harus ke sekolah.

Melihat hal demikian, akhirnya timbullah rasa perihatin yang dirasakan oleh ibu nyai Shofiya dan Kiai Ahmad.

Tiga tahun sudah Naya hidup sendirian membesarkan Fahad. Fahad pun tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas. Di umurnya yang masih balita dia sudah mampu melafalkan kata kata sederhana. Dan mulai pandai mengaji.

Ya, Fahad adalah obat hati Naya. Meskipun sudah tiga tahun lebih dirinya ditinggal oleh Fatih, namun Naya tetap tidak bisa melupakannya begitu saja. Al Fatihah pun selalu dilantunkannya ketika dia terfikir tentang sosok Fatih.

Melihat kondisi Naya, Ibu Nyai Shofiya berkeinginan untuk membawa Naya dan Fahad untuk berlibur. Meskipun pada awalnya Naya enggan. Namun, untuk menghormati ibu mertuanya, Naya mengikuti apa perintah Ibu Nyai Shofiya.

Mobil Mercedes berwarna putih sudah siap di depan kediaman Kiai Ahmad. Tanpa banyak bertanya, kemana Naya akan dibawa berlibur, ia sudah langsung mempacking barang barang Fahad dengannya selama beberapa hari. Mengingat pesan ibu Nyai, kita akan berlibur kurang lebih satu minggu.

Naya mengiyakan saja, walaupun, dirinya masih merasa berat meninggalkan rumah.

Mobil terus melaju. Naya terbenam dalam bermain bersama Fahad. Fahad sangat aktif, dengan mudah, di umurnya yang masih tiga tahunan, Fahad sudah mampu melafalkan huruf hijaiyah yang dibantu oleh ibunya.

Setelah melewati berkilo meter perjalanan. Akhirnya masuklah mobil keluarga Naya ke sebuah pekarangan lembaga pondok pesantren.

Lingkungan pondok yang sangat asri. Beberapa santri lalu lalang menggunakan sarung dan kitab kuning di tangannya. Mereka berbondong bondong menuju masjid yang nampak baru saja direnovasi.

Mobil tersebut terus melaju menuju deretan rumah bercat hijau dan berhenti di depannya.

"Ayo, Nak.. Kita sudah sampai... "

Ujar Nyai Shofiya kepada Naya.

Naya tersenyum dan mengangguk, dia menggendong Fahad, yang terlelap dalam tidurnya.

Tak lama, beberapa orang santriwati datang menyambut kedatangan mereka dan membawakan barang barang Nyai Shofiya dan Naya.

Seorang santriwati yang paling tinggi, tersenyum ramah ke arah Nyai Shofiya dan Naya lalu menyalaminya dengan penuh takdim.

"Mari disini... Ibu Nyai.. "

Ucapnya halus dan sopan.

Ibu Nyai Shofiya dan Naya mengikuti arah yang ditunjukkan santriwati tadi. Naya melewati koridor sebuah rumah dengan desain yang sangat sederhana.

Rumah tersebut dikelilingi taman taman yang indah. Semakin memasuki ke dalam rumah, semakin terdengar suara gemericik air yang ternyata berasal dari suara aliran air kolam ikan.

Tak lama, seseorang perempuan mengenakan jubah berwarna coklat muda dan kerudung Syar'i panjang berjalan menuju arah Nyai Shofiya. Beliau tersenyum sangat ramah.

"Ahlan...  Ibu Nyai... "

Perempuan tersebut memeluk ibu Nyai Shofiya.

"Ahlan bik... Lama sekali tidak berkunjung kesini ya.. "

Ucap ibu Nyai Shofiya.

"Ini, siapa? "

Tanya perempuan berjubah dan berwajah keibuan tersebut.

"Ini menantu saya, Allisiya Arranaya, istri almarhum... Dan ini cucu kesayangan Oma, Fahad... " Ucap Ibu Nyai Shofiya memperkenalkan Naya.

Naya tersenyum ramah ke arah perempuan di hadapannya dan menyalaminya sopan.

"Subhanallah... Cantiknya.. "

Pujinya.

"Dan Naya, ini Ibu Nyai Sumayyah, beliau sepupu Abah... "

Mereka pun berkenalan dan dipersilahkan untuk duduk.

"Naya, untuk beberapa hari ke depan kita berlibur disini ya... "

Ucap Ibu Nyai Shofiya.

"Maaf Ummi, ini daerah mana ya? Tadi Naya tertidur ketika di jalan.. "

Ucapnya Naya.

"Ini Gresik, Nak.. "

Jawab Ibu Nyai Sumayyah.

"Kelihatannya Naya dan Fahad letih sekali, mari Nyai antar ke kamar.. "

Ucap Nyai Sumayyah ramah.

"Naya pergilah ke kamar terlebih dahulu ya, Nak... Ummi masih mau melihat ikan di kolam... "

Ucap Nyai Shofiya.

Naya mengangguk dan mengikuti langkah ibu Nyai Sumayyah menuju sebuah kamar di pojok rumah.

Akhirnya, sampailah Naya di sebuah kamar bernuansa warna putih. Yang terdiri dari kasur utama, sebuah laci kecil dengan lampu hias di atasnya, beberapa sofa dan kursi di pojok kamar.

"Selamat beristirahat ya, Nak... "

Ucap Ibu Nyai Sumayyah. Sangat ramah.

"Kalau butuh apa apa, sampaikan ya Nak.."

Naya mengangguk. Nyai Sumayyah meninggalkan Naya di kamar.

Naya menidurkan Fahad di atas kasur utama. Setelah itu, dia menarik nafas panjangnya, lalu merebahkan dirinya di sebelah Fahad.

Ya, Naya sangat letih. Dia butuh istirahat.

Untukmu, ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang