Bismillahirrahmanirrahim
Selamat membaca 😉
Alunan merdu suara hujan yang menghujam bumi membuat mataku terfokus pada pepohonan dan rumput yang mereka sirami,
Dentuman suaranya saat beradu dengan atap rumah yang terbuat dari seng tak membuatku memutar arah bola mata,
Dari hujan aku belajar seberapa sakitpun dia jatuh menghatam bumi, dia tidak akan pernah lelah untuk menyirami, dari hujan aku mengerti seberapa jauh dan tinggipun awan membawanya pergi, ujung-ujungnya dia juga akan jatuh dan kembali ke bumi.
Seperti halnya diriku, kupikir saat dia datang dan mengulurkan tangannya untukku rasa sakit yang kurasa selama ini akan hilang, bayangan kelam dan ketakutanku akan tersamarkan.
Untuk beberapa saat aku bisa mengatakan kalau dia berhasil melakukan itu, aku senang, karna kupikir kunci pintu bahagia sudah di tangan, tinggal melangkah bergandengan makan pintu bahagia untukku akan terbuka lebar.
Tapi seolah lupa daratan, aku sepertinya lengah karna terlalu senang, sang Pencipta menegurku, kunciku hilang, aku kehilangan arah, melangkah lamban tanpa tujuan.
Suasana yang sendu membuatku otakku memutar kenangan tentang masa lalu,
Aku Senandung Rindu, gadis biasa dengan sejuta ketakutan tak berujung, lemah hati dan krisis kepercayaan tidak hanya untuk orang lain tapi juga untuk diriku sendiri.
Panggi aku Sena, gadis biasa yang berharap seorang lelaki mampu menarikku keluar dari hal yang tak seharusnya kutakuti.
Di dunia ini semuanya berjalan menurut kuasa Ilahi, manusia yang merencanakan tapi DIA yang menghendaki. Seberapa bagus, indah dan rapipun rancangan manusia jika sang Pencipta tak mengamini maka semuanya tak ada arti.
Aku berhasil bertemu dengannya, kunci hati yang kupikir bisa membawaku menuju pintu bahagia, dia yang baik, lembut dan yang pasti tahu semua tentangku. Dia yang terus berjuang sebanyak apapun kupatahkan hatinya agar berhenti melabuhkan hati pada wanita sepertiku. Dia yang terus berjuang dan berakhir dengan kemenagan, tembok hati yang kubangun kokoh sekarang rubuh, aku luluh dengan semua perjuangannya. Dia berhasil membantuku melawan semua ketakutan itu, dia berhasil membawaku keluar dari kubangan luka dan lara.
Namanya Sadam, pria pemurah dan si pemilik senyum hangat, perasaan nyaman yang belakang selalu hadir saat bersamanya membuatku memutuskan untuk menyerahkan hati dan jiwa saat untuk kesekian kalinya dia memintaku sebagai pelengkap imanya.
Kami memutuskan untuk menikah, dua bulan kami mempersiapkan semuanya agar hari ini berkesan untuk kehidupan kami selamanya, selama pesiapan tak ada seharipun dia lupa mengucapkan kata terimakasih padaku karna sudah menerimanya sebagai calon imam untukku,
Padahal dilihat dari sisi manapun harusnya aku yang mengucapakan itu, dia lelaki sempurna untuk gadis sepertiku yang terlalu biasa, dia mapan baik dan pasti beriman, nilai plus kenapa aku bisa melabuhkan hatiku pada pemilik mata teduh itu."Aku tidak sabar menunggu hari itu tiba, aku benar-benar akan memilikimu sepenuhnya, lahir dan bathin. Akhir perjuanganku ada di kamu Na," Itu adalah kata yang selalu dia ucapkan saat akan mengakhiri hari yang kami lalui bersama,
Lantas bagaimana aku bisa melupakan semuanya begitu saja?
Seminggu sebelum kami menikah, dia meminta izin padaku untuk pergi keluar kota, saat kutanya, ngapain? Dia hanya tertawa renyah. Belakangan kuketahui dia ternyata pergi untuk mencari jam pasir di salah satu pasar antik yang ada di sana, sebagai kado pernikahan untukku. Dia begitu mengerti diriku, padahal aku hanya sekali lalu mengatakan kalau aku sangat menginginkan jam itu.
Sore itu gerimis datang di saat matahari masih bersinar terang, orang tua dulu bilang itu pertanda tak baik, percaya tak percaya tapi sebagai manusia kita harus tetap waspada,
Jantungku berdetak tak beraturan saat mengingat nama Mas sadam, iramanya sama saat aku mengingat ketakutan konyol yang selama ini menguasai diri,
Ponselku berdering, kulihat nama Mas sadam yang tertera di sana, senyumku terbit kuusir ketakutan yang tadi menggerogoti diri karna sekarang kunci kebahagianku sedang menghubungi,
Kuangkat telfon itu, senyum yang tadi menghiasi bibirku lansung lenyap, suara orang di seberang sana membuat nyawaku seperti direnggut secara paksa, itu bukan suara mas Sadam, tapi seseorang yang mengabarkan kalau dia mengalami...... kecelakaan. Kakiku lemah, aku terduduk di lantai bersamaan dengan aliran air mata yang jatuh membasahi hijab yang kukenakan.
Beberapa karyawan yang datang menghampiri tak kuhiraukan, mataku kabur, suaraku tercekat
Ini kabar terburuk yang kudengar setelah orang tuaku memutuskan untuk bercerai.Manarik nafas secara perlahan, kucoba untuk bangun dan berdiri tegak kembali, tapi aku tidak bisa kakiku terlalu lemah untuk menginjak bumi, akhirnya kubiarkan beberapa dari mereka yang mengerubungiku untuk membantu,
"Antar aku ke rumah sakit," hanya itu kata yang bisa lolos dari mulutku.
*****
Hembusan angin membuat gemircik air mulai masuk ke dalam kamar, kuputuskan untuk menutu pintu jendela yang tadi kubuka lebar,
Melangkah menuju tepian kasur, aku duduk di sana, mataku lansung terpaku pada kaca meja rias yang menampilkan diriku di dalamnya,Hari ini aku menikah, kebaya putih pilihan Mas Sadam melekat sempurna membalut tubuhku, air mataku jatuh mengingat kejadia beberapa saat yang lalu, "aku minta maaf mas Sadam" kalimat itu terus kurapal dalam dada,
Otakku kembali mengingat kejadian seminggu yang lalu. Mas Sadam mengalami kecelakaan, dia Koma dan sampai sekarang belum sadar, benturan keras yang mengenai kepalanya membuatnya tidak sadarkan diri. Air mataku kembali turun saat melihat betapa parahnya luka yang dia alami.
Tanganku terayun mengambil jam pasir pemberiannya. Seandainya saja aku tidak mengatakan padanya kalau aku menginginkan jam ini, mungkinkah kejadiannya akan berbeda? Aku akan menikah dengan seseorang yang benar-benar memperjuangkanku, bukan dengan Dia....
"Dek," kemungkinan-kemugkinanku terputus melihat sosok yang sekarang tengah berdiri di depan pintu, dia diam tapi matanya menyorotku tajam, terlihat jelas dari pantulan kaca,
"Ya," aku berbalik setelah mengusap air mata yang sedari tadi terus menetes di pipi, "ada apa....?" Aku tidak tahu harus menggunakan panggilan apa pada pria yang sekarang sudah menjadi jujunganku ini,
Dia tidak lansung menjawab, dia hanya memandangku lama... sangat lama, sampai tepukan tangan makhluk mungil yang sedari tadi berada dalam gendongannya membuatnya sadar, "Apa Mas menganggu, Keanu dari tadi terus memanggilmu."
Aku menggelang pelan, tanganku terangkat mengambil alih tubuh mungil itu kedalam pelukan. Keanu Angkasa Pratama, satu-satunya hal yang berhasil membuatku tersenyum kecil setelah apa yang mas Sadam alami. Satu-satunya alasan kenapa aku mau menjalankan ikatan ini, bagaimana aku bisa menolak, jika saat pertama kali menatap bola mata jernih tanpa dosa itu, dia menguman kata " Bubu (ibu)" untukku, kata pertama yang diucapkannya setelah dia bersedih karna kepergian sang Bunda.
Gimana? Lanjut ngak ni ?
Kalau iya, kasih aku vote dan komentnya dong, kalau banyak yang suka aku janji fast update deh 😂😂😂✌✌✌
Aku harap banyak yang suka 😊
Ini cerita ke tigaku, semoga suka ya, genrenya spiritual romance,
Semoga yang baca bisa menikmatinya dan jangan baper, jangan sedih. Oke 🥰🤗😊Maaf kalau banyak typo ya🙏😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Surga di Rumah kita
SpiritualDia yang berjuang kamu yang menang, dia yang menanam kamu yang memanen, bukankah itu tidak adil? Tidak adil menurutku, tapi sangat adil untuk-Nya, maaf karna sempat mendiami dulu. Aku harusnya sadar saat takdir bermain semuanya pasti akan menemukan...