Tiga Puluh Satu

699 43 0
                                        


Rahasia terbesar tentang kita, adalah kita sendiri. Yang belum mampu menemukan jalan keluar tentang takdir rumit yang menjerat kita.

^ Alfa Manu Herminton^

--
-
-
-

Luna menatap bingung, Alfa yang kembali memeluknya setelah dia kembali dari kamar mandi.

Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Biasanya Alfa sudah bangun dan berolah raga.

"Kakak bangun" Alfa menggeleng cepat. Kepalanya yang sengaja dia tenggelamkan di leher Luna. Membuat si empunya meringis kegelian

"Kak geli ih" Alfa tidak menggubris.

Kembali Luna menghela nafas jengkel.

"Masih ngantuk" keluh Alfa.

"Tapi pengen olahraga"

Tinggal bangun saja. Apa susahnya.

Luna menatap heran. Alfa aneh sekali.

"Makanya bangun kak'"

"Pengen olahraga"

"Bangun makanya" Luna berucap jengkel. Tangannya dengan pelan menjambak rambut Alfa. Membuat Lelaki yang sedari tadi nyaman mengendus lehernya. Langsung menatapnya jengkel.

"Olahraga sama  kamu'"  Alfa menyeringai sadis. Luna nya terlihat manis sekali pagi ini

"Hah"

Bahkan respon istrinya ini, membuatnya semakin ingin secepatnya memulai olah raga panas mereka.

"Mak- emm" Alfa membungkam cepat bibir Luna.  Menahan setiap kata yang akan terucap dari bibir menggoda istri nya.

Tangannya tidak tinggal diam melepaskan baju tidur yang Luna kenakan bukan hal sulit untuknya.  Dia sudah pernah melakukannya saat Luna memberontak hebat. Apalagi saat Luna membiarkannya sekarang.

Semuanya lebih mudah.

Luna mengusab pelan belakang kepala Alfa. Suaminya ini terlihat sangat buru-buru. Pasti sulit untuk Alfa menahannya.  Bahkan di kehamilannya yang sudah melewati bulan ketiga.

Alfa cenderung lebih patuh padanya. Lebih mendengarkannya dan tidak memaksanya seperti dulu lagi.

Itu berita bagus.  Karena itu. Pagi ini. Dia milik Alfa seutuhnya.

****

Raka menatap kesal Ana yang melarangnya membangunkan Alfa dan Luna sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Biarkan saja kak, jangan dendam begitu Sama anak sendiri" Raka kembali menatapnya tajam.

Membuat wanita dalam balutan gaun santai bewarna hijau tua itu mendelik jengkel.

"Seharusnya dia tidak menahan Luna lebih lama dikamar" suaminya ini tidak tahu diri sekali.

Padahal Raka juga begitu. Paling suka menahannya di pagi hari. Kalau saja dia tidak dapat tamu bulanan sekarang, dipastikan dia juga akan bernasip sama dengan Putrinya.

"Menyebalkan" Ana menghela nafas jengkel. Mengambil tasnya dia mengikuti Raka menuju mobil mereka. Di sana Samuel sudah menunggu. Hari ini mereka harus ke Bandung. Dan Alfa sudah mereka beritahukan tadi malam.

"Bagaimana perkembangan perkebunan di Bandung" Samuel mengangguk sebagai pertanda bagus. Kemudian mulai memberitahukan berita kedatangan kedua sahabatnya yang berniat akan bermalam di villa dekat perkebunan mereka.

"Kedua orang itu, merepotkan saja," keluh Raka jengkel. Mendapati kedua orang itu ada disana. Bukan berita yang menyenangkan. Mereka pasti akan mengganggu harinya.

Padahal sudah tua. Tapi tetap saja pandai membuatnya jengkel.

Dewangga  dan Nugroho ya. Aska dan Dewa.

"Sudah lama kita tidak bertemu mereka kak"

Ana  terkekeh pelan. Dia tahu bagaimana Aska dan Dewa juga suaminya.

Ketiga lelaki itu tidak pernah berubah. Tetap saja seheboh dulu. Saat mereka masih muda.

Dia yakin itu

*****

Luna menatap tidak minat air yang beriak di bawah kakinya. Alfa memeluknya erat dibelakang, lelaki itu memang sudah mengambil cuti, selama satu Minggu sejak pernikahan mereka,

Dan semua masalah perusahaan akan Alfa hendle dari rumah.

"Kamu kenapa?" Alfa mengernyit heran, sejak tadi Luna hanya diam. Sesekali menerima suapan buah yang sudah dipotong-potong olehnya.

"Bosan" keluh nya.

Sudah dua hari dan mereka hanya berada di rumah. Dia yang melayani Alfa dengan sangat baik.

Sangat baik.

Sampai tangannya keram. Karena cengkraman lelaki itu yang menggila.
Pinggangnya nyeri karena cengkraman Alfa yang begitu kuat.

"Sepertinya aku butuh pijat" Alfa terkekeh pelan. Dia tahu kemana arah pembicaraan Luna.

Dia memang sudah lebih bisa menahan emosinya saat Luna memancing emosinya. Tapi saat mereka melakukannya. Dia tidak bisa.  Semakin dia kasar, semakin Luna berteriak semakin pula dia puas. Di tidak tahu, tapi menghilangkan semua kegilaannya itu butuh waktu.

"Aku yang pijat hm"

"gak!" Luna menjawab tegas. Membuat Alfa mencengkram cepat rahang Luna dan membawa wajah wanita itu menghadap nya.

Menyorotnya dingin sampai Luna yakin tubuhnya mulai bergetar memberi respon terhadap perlakuan Alfa.

"Kamu tidak punya Hak menolak sayang" karena itu, saat Alfa baik padanya dia akan memanfaatkannya dengan baik.

"Maaf kak Sshhh"  Alfa mengangguk, tersenyum puas dengan jawaban Luna. Melepaskan tangannya pelan. Sampai matanya melebar kaget menatap memar di dagu Luna.

"Sayang, dagu kamu kenapa" ini persis seperti tadi malam, saat Luna menolak melakukannya lagi, Alfa menggigit kuat bahunya sampai berdarah. Setelah dia menerima ajakan Alfa lagi, Alfa langsung gelagapan saat melihatnya terluka.

Ada apa?

Alfa tidak pernah seperti ini..

"Aku baik-baik saja kak" memangnya dia harus menjawab Apa. Alfa bagaikan Lupa apa yang sudah lelaki itu lakukan.

Tapi kenapa. Sejak kapan Alfa begini?

ALFa mengusab wajahnya pelan, Dia pasti lepas kendali lagi, padahal dia sudah coba menahannya, mengontrol dengan baik emosinya.

Tapi sekalinya dia menggila. Dia bagaikan orang linglung yang tidak ingat apa-apa.

Memang siapa lagi yang menyakiti Luna selain dirinya

Tangannya dia gerakkan pelan. Mengusap lebam yang dibuat tangannya.

" Aku -"

Alfa tidak tahu, dia harus mengucapkan apa, dia meminta maaf.

"Maaf-" tapi rasanya semuanya belum cukup. dia dengan jelas bisa melihat ada ketakutan di dalam tatapan Luna.

Luna masih saja takut padanya.

Tapi mengapa dia senang disaat yang bersamaan.

Dia pasti sudah gila.

****

Jangan lupa tinggalkan jejak guys.

Alfa & Luna (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang