Pajak wajib vote dan komen ⚠️
...
Angin sore berhembus, hawa lembab dan dingin menyelimuti bersamaan dengan matahari yang masih tampak malu-malu bersembunyi dibalik awan mendung. Setelah hujan berhenti beberapa jam yang lalu. Hanya ada kesunyian di sore ini. Di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk padatnya kota. Tak banyak orang berlalu lalang di desa kecil ini. Saat jalanan sedikit licin orang-orang lebih memilih aktifitas penuh di dalam rumah. Tapi tidak untuk Maxime.
Setelah mengatakan secara langsung kepada Youra perasaan Maxime yang bersungguh ingin menikahinya. Maxime kembali pulang ke kediaman rumah lamanya. Ingin sekali lagi ia mengingat masa lalunya dengan melepaskan segala kerinduannya kepada desa tercinta. Maxime benar-benar dilema dengan perasaannya. Terlebih saat beberapa waktu yang lalu ia tak mendapat jawaban apapun dari Youra.
Maxime melangkah dan menanggalkan jasnya ke sofa saat kedua tungkainya menjejaki kediaman bercat putih kuno itu. Ia lalu menghidupkan beberapa saklar lampu untuk menerangi setiap sudut ruangan. Meski rumah lama Maxime telah kosong lama, tapi masih terawat dengan apik kala setiap hari neneknya selalu berkunjung untuk sekedar menengok. Sesekali paman dan bibinya berkunjung untuk membersihkannya. Rumah ini adalah rumah kesayangan Maxime, mengingat kenangan manis bersama ibunya dimasa kecil.
"Kau sudah datang?" ucap seorang wanita paruh baya saat ia melihat Maxime tengah melihat potret ibunya di dinding kamar.
"Hmm, aku merindukan tempat ini," ucap Maxime tanpa menoleh.
Park Sora, wanita paruh baya itu kini mensejajarkan dirinya di samping Maxime. Ia menepuk bahu Maxime saat menyadari ada sedikit kesedihan dari ucapannya."Karena itu kau dan ayahmu tak menjual rumah ini?"
Maxime tak menjawab, yang ada ia menenggelamkan wajahnya kedalam pelukan sang nenek."Aku selalu merindukannya, merindukan tempat ini dan segalanya," ungkapnya.
"Dia selalu ada bersamamu, dihatimu. Jangan bersedih, atau ia akan ikut bersedih melihatmu seperti ini," Park Sora mengusap punggung Maxime dengan lembut guna menenangkan kegusaran hatinya.
"Kau sudah makan?" sambung wanita itu kemudian merenggangkan pelukannya. Ia mencoba mengalihkan kesedihan Maxime.
Maxime menggeleng, tubuhnya kembali tegap untuk menatap sang nenek. Ia mengusap air bening yang kini membasahi pipinya."Aku ingin sup jamur buatanmu nek. Sup mu mengingatkanku kepadanya."
Park Sora tersenyum. Maxime masih sama, tetap sama dan tidak berubah."Kau tidak berubah," wanita itu kemudian mengusap lembut pipi Maxime."Tunggu disini, aku akan segera kembali membawa sup kesukaanmu."
"Tidak perlu, Aku akan menyusul ke rumahmu selagi aku disini sebentar dan selesai membersihkan rumah."
Park Sora mengangguk mengerti. Melihat Maxime seperti ini, ia lebih memilih meninggalkan Maxime dan membiarkan pemuda itu untuk melepaskan segala kerinduannya maupun menenangkan segala pikirannya dari penatnya segala macam pekerjaannya dikota.
Setelah sang nenek meninggalkan kamarnya, Maxime pun memulai aktifitasnya ia melipat ujung kemejanya untuk bersiap membersihkan kamar kesayangannya. Sesaat aktifitasnya terhenti ketika rungunya mendengar bunyi kemerling merdu dari jendela. Kedua netranya menatap teduh sebuah dream catcher berwarna putih tulang yang tengah menari kala angin sore menyapanya.
Maxime mematri senyum sambari kedua tungkainya berjalan menuju jendela. Ia membuka leluasa jendela kamarnya agar angin lebih bebas masuk kedalam kamarnya. Namun, ada yang lebih menarik dari itu semua saat netranya menangkap lurus ke arah balkon kamarnya yang terdapat sebuah kursi jerami kecil indah mengingatkannya dengan kenangan yang indah pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempiternal ✔️ [TERBIT]
FanfictionSekeras apapun Lee Youra menyakiti Maxime Parker, pria itu tetap mencintainya. Tak peduli bagaimana buruknya seorang Lee Youra, atau bahkan saat gadis itu sering berselingkuh darinya, Maxime akan tetap mencintainya. "Maxime Parker, kau itu bodoh ata...