[12] UGLY BOY

117 34 2
                                    


Pi readin' gais.
.
.

Mungkin jiwa Marc Marquez sudah merasuki Jean, jalanan seperti arena balap olehnya. Jean sebenarnya bisa mengontrol mobil sedikit lebih lambat tapi kondisi Arthur nampak tidak memungkinkan.

"Santai aja bawa mobilnya, ntar gue malah mati kecelakaan, ga elit benget dah, gue masih banyak darah kok." Curcol Arthur dengan kepala tersandar dibangku mobil.

Mata Jean hanya melihat tak berekspresi kearah Arthur, sadar bahwa tambalan kain yang melekat di lengan tersayatnya Arthur kini tembus membentuk sebuah danau.

Jean mencoba untuk lebih santai dan tidak tegang. Raut wajahnya yang nampak super khawatir gagal ia sembunyikan. Kini ia tertangkap basah tengah menangis.

"Lo sadar ga si Ottawa masih jauh dari sini! Kalo ga cepet-cepet luka Lo diobati ntar Lo mati gimana?!" Teriak Jean spontan menghentikan mobilnya.

Arthur meraih wajah Jean dengan tangan kirinya, berusaha menenangkan gadis ini agar tidak menangis lagi. "Gue bisa nahan sampai kita tiba di Ottawa, yakinlah sama gue, Lo ga perlu cemas begini!"

Mata Jean masih berkaca-kaca, menatap sayu kearah Arthur yang nampak semakin pucat. Penyesalan menghampiri, kenapa dari awal harus Arthur yang datang jika imbasnya seperti ini?.

Jean meraih handphone-nya lalu mengontak Joan. Ia ingin memastikan apakah ada ibunya dirumah, Joan bilang ibu mereka kini sedang pergi ke kantor migrasi untuk mengurus paspor. Jean terpaut rasa lega.

Kini matanya menatap tajam Arthur, ia lebih mirip seorang psikopat manis. Ia mengaitkan sabuk pengaman Arthur lebih kencang, mengacak persneling dan membuat mobil tersebut menabrak angin dan seakan melayang. Yang dilakukan penumpang disampingnya hanya bisa pasrah dan menggantung hidupnya pada Tuhan, akankah ia masih bisa melihat dunia setelah ini?.

Setelah menempuh waktu yang cukup lama, barulah mereka sampai di kota. Jean tidak ambil pusing, saat tiba dirumah, Jean langsung menuntun Arthur untuk masuk kerumah. Terkejut saat mendapati kedua sahabatnya ada didalam sibuk bercengkrama.

"Eh, Arthur! Lo kenapa mandi darah gini?" Tanya Ella sedikit membelalak melihat kondisi Arthur yang lebih mirip zombie.

"Halahh, paling juga modusin Jean, jelas benget." Aland malah menggubris sinis.

Arthur masih meringis, tak menghiraukan ucapan konyol dari Aland. Tangan yang tersayat itu dibersihkan dengan sangat hati-hati oleh Jean. Aland mendadak panas, apalagi setelah Arthur tersenyum bangga kearahnya karena sudah mendapatkan perhatian Jean.

Joan dan Ella hanya terkekeh geli. Mulai bertanya tentang apa yang terjadi sesaat setelah Jean selesai mengobati Arthur.

"Gue sama Jean tadi lagi baku hantam sama preman," Arthur akhirnya bicara

Jean melirik Arthur dengan perasaan cukup lega, "untung cuma digores, kalo misalnya ditikam gimana? Kan ga lucu." Jean memutar bola matanya malas

Arthur hanya tersenyum hambar, ia paham gadis pujaan hatinya ini tengah mencemaskannya. Sementara Jean sendiri berusaha memendam dalam-dalam emosinya, memastikan bahwa gelarnya sebagai gadis ketus ga punya perasaan tidak goyah hanya karena ia terluka.

"Lo udah sembuh, cepetan pulang sana!" Ujar Jean tersirat usiran

"Pengen nginep, boleh ya satu malam?" Mulutnya terukir senyuman

Jean malah menarik pemuda ini untuk segera pulang. Arthur pun memberontak, baginya terasa belum cukup berduaan dengan Jean. "Ga mau pulang..!" Rengek Arthur.

"Lo musti pulang, mau apa diomelin nyokap Lo udah gegara lambat pulang?" Jean memasukan tubuh Arthur ke mobil.

Arthur mendadak murung, "pulang pun gue sekarang, ga bakal ada yang peduli. Paling tiba dirumah cuma diliatin, ga nanya apa-apa juga."

Half-zone (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang