[16] FOLK-ETYMOLOGY

113 28 0
                                    


"Rasa ini lama terpendam, sekalinya menyeruak mengapa masalah timbul sebesar ini? Apa harus diri ini tak bahagia? Apa harus hidup ini kentara dalam fatamorgana?"

🍃🍃🍃

.

Banyak orang bilang Joan itu plegmatis. Hidupnya seakan tak punya emosi, padahal banyak rasa yang ia pendam. Pikir mereka Joan itu laki-laki yang tak bisa mencintai perempuan, padahal ada satu nama yang senantiasa hinggap dihatinya.

Setiap kali telinga Joan mendengar itu semua ia tetap bersikeras tak acuh. Meski isu itu merebak sampai-sampai Joan dibilang homo oleh orang-orang sekitar. Keep calm, baginya menyauti anjing yang menggonggong adalah perbuatan yang sia-sia.

Semua berlalu seperti hari, sampai tiba masanya hati memilih untuk bersuara. Seakan Tuhan tak ada dipihaknya, keputusannya malah menimbulkan masalah yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Hubungan ibu dan anak yang retak oleh sebuah hubungan yang baru ia rajut.

Kini Joan menempati posisi tengah diantara dua jurang. Ia tidak bisa kemana-mana, jikapun ia memilih bergerak, yang ada malah tenggelam.

Tolong beri sedikit keringanan, karena gue  baru aja mengenal 'cinta'.

**

Hampir seharian Joan dan Megan tak bertegur sapa. Mereka dikuasai ego masing-masing, tetap bersiteguh dengan pendirian. Joan tak peduli dengan sikapnya yang sedikit kekanak-kanakan, meskipun ia tahu posisi ibunya saat ini diperlukan untuk pemulihan lukanya.

Seharian ia hanya membekap di kamar, Jean yang sekarang menggantikan posisi Megan, membawakan saudaranya makan dan menuntunnya untuk minum obat. Dalam hati jujur Jean kesal, di satu sisi ia tak tahan dengan perang dingin yang terjadi, disisi lain Jean tak bisa merawat atau memberi dosis obat dengan benar.

"Jangan gini dong, Joan. Lo kira enak apa diem-dieman kek gini? Gue yang jadi pelampiasan!!" Jean coba memberi pencerahan.

Joan hanya diam tanpa sedikitpun menyaut. Ia hanya menatap ketiadaan didepannya, membayangkan tentang hubungannya dengan Ella setelah ini, apakah masih bertahan?

Kemudian ia melirik jengkel kearah saudarinya, "bilang ke ibu, gue ga bakal nyapa dia sebelum minta maaf ke Ella, jelas-jelas ibu kan yang salah?"

Jean mendengus setengah kesal, jika saja saat ini Joan tidak sakit, Jean tak segan-segan melempar pukulan jitu kearahnya. "Harus dengan diem-dieman? Harus dengan pertahanin ego? Asal Lo tau ya, tadi Ella chat gue, dia yang malah minta maaf. Gue tahu sebenernya Lo itu cemasin hubungan Lo dan Ella. Gue tau kalo Lo takut Ella jauh. Tapi stop! Lo jangan kehilangan akal karena cinta, Lo jenius, Lo mustinya tau apa-apa yang terbaik buat Lo."

Joan menatap Jean lagi tapi kali ini dengan raut wajah yang tampak sedih. Ia kemudian berbaring dan menutupi diri dengan selimut. "Gue mau tidur. Lo sebaiknya keluar!" Nada Joan tampak menekan.

Jean ingin membantah, emosinya melunjak. Tak pernah seumur hidup ia berada diposisi tak berdaya seperti ini. Untuk menekan situasi agar tidak tambah kacau, dengan berat hati Jean keluar dengan emosi meluap-luap.

Ketika keluar kamar, Jean melihat Megan duduk sendiri di meja makan. Ia termenung seolah memikirkan sesuatu. "Bu?" Jean mencoba menyadarkan ibunya dari lamunan.

"Jean!" Megan nampak berbinar cukup girang, cepat-cepat ia ubah raut mukanya jadi lebih angkuh, "bilang ke Joan, ibu takkan memasakkan makanan untuknya jika dia tak mau minta maaf ke ibu." Nadanya berubah datar.

Jean berusaha menahan, aduan demi aduan memenuhi kepalanya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mengerang kemudian pergi keluar menemui sang paman yang kala itu duduk sendirian.

Half-zone (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang