2. Berbicara

69 7 0
                                    

"Pagi Kania."

Nayla menghampiri gadis yang kini menjadi kliennya itu. Perempuan itu hanya menoleh, lalu tersenyum sebentar, kumudin kembali murung.

"Boleh aku duduk di dekatmu?"
"Iya."

Nayla mengambil posisi yang nyaman untuk mengajak Kania berbicara. Sampai sejauh ini Kania masih sulit didekati karena gadis itu termasuk tipe yang introvert. Dia cenderung memendam rasa sedihnya sendiri. Dia enggan membagi kesedihannya dengan orang lain. Dan, ini, bukan hal yang baru lagi untuk Nayla. Dia tahu dengan apa yang harus ia lakukan.

Dalam proses konseling, seorang psikolog harus bisa membuat kliennya itu respect dengan kehadirannya. Dia harus melakukan sesuatu yang bisa membuat klien merasa kalau masih ada yang memperhatikan dirinya, masih ada yang peduli terhadap dirinya. Dia tidak sendiri. Karena pada umumnya klien yang ditangani oleh psikolog itu kebanyakan mempunyai self esteem yang rendah--merasa tidak ada yang mempedulikan dirinya, cenderung menilai diri sendirinya buruk, tidak mempunyai kepercayaan diri--sehingga dia membutuhkan penanganan khusus dari orang-orang ahli di bidang konseling.

Dan seorang psikolog harus bisa membangun kepercayaan dari kliennya, bahwa dia bisa membantu mengatasi masalahnya. Intinya antara psikolog dan klien harus ada rasa saling percaya mulai dari awal sehingga klien lebih terbuka kepada psikolog dan mau menceritakan masalah yang dialaminya, dan ketika klien sudah terbuka, hal itu akan memudahkan terhadap proses konseling selanjutnya.

Nah, itu yang sedang Nayla lakukan saat ini. Dia berusaha untuk membuat Kania percaya pada dirinya bahwa dia bisa membantunya keluar dari masalah yang tidak disadarinya. Ya, Kania tidak sadar jika apa yang dia alami saat ini merupakan sebuah masalah. Tentang ketidakterbukaannya pada orang sekitar mengenai perasaannya. Terlebih setelah dia ditinggal mati oleh suaminya--Vindra.

"Nama panjangmu siapa?" Nayla membuka pembicaraaan kembali, setelah beberapa waktu berlalu dengan keheningan.

"Kania Syifa Rahman, Bu." Nayla tersenyum, karena gadis itu dengan cepat menjawab pertanyaannya.

"Nama yang bagus. Jangan panggil ibu, panggil mbak saja biar lebih akrab." Kania hanya mengangguk, diikuti senyum tipis di bibirnya.

"Kamu anak tunggal, ya?"
"Enggak. Asalnya dua bersaudara. Tapi, adik saya meninggal saat umur lima tahun."
"Oh, maaf," sahut Nayla pelan. Ia menatap tidak enak hati ke arah Kania. Lalu gadis itu hanya tersenyum menanggapinya.
"Eggak papa, aku sudah terbiasa kehilangan. Dulu, papa meninggal waktu aku kelas dua SD. Adikku meninggal waktu aku kelas lima SD, paman juga meninggal waktu aku kelas enam SD. Semuanya lengkap. Orang-orang yang aku sayang pergi meninggalkan aku. Hanya mama satu-satunya yang tersisa."

Nayla tidak menyangka kalau perempuan yang bernama Kania ini cukup banyak merasakan sakit. Pantas saja ia berubah menjadi introvert. Dia tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita. Kalau pun ada, yaitu mamanya, rasanya tidak mungkin, Kania tidak ingin menambah beban pikiran ibunya dengan cerita-ceritanya. Makanya dia memilih diam.

"Maaf, Mbak, saya malah jadi curhat sama." Perempuam itu menyeka matanya yang basah.

"Tidak masalah. Justru saya senang kalau kamu terbuka seperti ini. Jadi, saya bisa tahu masalah apa yang sebenarnya kamu alami. Setidaknya kamu merasa lega karena beban yang selama ini memberatkan pikiranmu terkurangi, 'kan?"

"Iya, Mbak. Saya memang lega begitu selesai cerita barusan."
"Alhamdulillah kalau gitu."
"Makasih Mbak Nayla, udah mau dengerin saya."
"Sama-sama. Kalau ada sesuatu lebih baik diceritakan sama saya. Jangan dipendam sendiri."

Nayla mengakhiri sesi konseling kali ini. Ia menyuruh Kania untuk beristirahat terlebih dahulu. Setidaknya, ia sudah mempunyai akses jalan untuk menentukan langkah selanjutnya.

RENNAY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang