30. Perbincangan Nayla dan Sabrina

18 3 0
                                    

"Kenapa murung?"

Sabrina menyapa Nayla yang sejak memasuki ruangan pembinaan sosial itu dengan wajah dengan lesu.

"Disertasiku." Jawab Nayla pelan.
"Kenapa? Revisi lagi? Bukannya itu sudah wajar? Dan setahuku kamu santai-santai saja dari kemarin? Tumben sekarang kamu murung gara-gara mikirin disertasi? Lagian kamu itu perempuan cerdas. Masak nggak bisa nyelesain sih?"

Pertanyaan beruntun yang panjangnya sudah seperti panjangnya rel kereta api itu membuat Nayla menghela napas berat. Sambil lalu ia pijit pelan pelipisnya. Kepalanya terasa pening, belum lagi dengan pertanyaan Sabrina yang semakin menambah kadar peningnya. Nayla diam. Membuat Sabrina juga ikut bungkam.

"Kemarin udah hampir rampung, cuma gara-gara aku lupa nggak ngesave di bagian akhirnya, langsung keluar gitu aja, jadinya harus ngulang dari awal lagi. Belum lagi ngurusin Kia, yang nggak mau percaya sama aku. Dan klien yang lain. Masalah di rumah juga. Ummi selalu maksa aku buat nikah lagi." Ungkap Nayla penuh kejujuran. Wajahnya ditekuk.

Kia ini, klien barunya Nayla yang mengalami distress karena terlalu tertekan oleh permintaan orang tuanya agar selalu menjadi peringkat satu di sekolahnya. Emang ya, kadang-kadang orang tua selalu maksain kehendaknya sendiri tanpa mempedulikan anaknya mampu apa nggak? Salah satunya orang tuanya Kia ini. Sekarang, setelah anaknya kayak gini, baru lah mereka menyesali perbuatannya yang terlalu protektif pada Kia.

Kia sekarang masih duduk di bangku kelas delapan MTs. Masih muda ya? Iya. Muda banget malah. Kasihan. Sampai sejauh ini, sudah tiga kali pertemuannya dengan Nayla, selalu ditolak. Belum ada respon positif darinya. Dia juga masih tertutup. Tapi, sebagai seorang psikolog, itu sudah wajar. Cuma, karena Nayla saat ini sedang banyak masalah dalam hidupnya, makanya dia memberatkan masalah Kia juga, padahal kalau dia sedang berada dalam mode goodmood, itu adalah pekerjaan yang tidak seberapa sulitnya daripada mengurusi klien yang tingkat distressnya tinggi.

"Ck, kamu ini psikolog Nay,"
"Terus?"

Nayla sedang berada dalam mode badmood yang parah kali ini, sehingga ia sensi begini.

"Kamu tahu caranya untuk memecahkan masalah kamu sendiri. Kamu pun belajar semuanya, kamu tahu sendiri menjadi seorang psikolog harus sabar. Nah, kalau kayak gini, apanya yang mau dibilang sabar? Sensitif juga."

Benar juga sih yang dikatakan Sabrina. Lagi, Nayla menghela napasnya berat.

"Manusiawi kali, Na. Setiap manusia punya masalahnya masing-masing kan."
"Terserah kamu lah Nay. Lagian file yang hilang berapa bab sih?"
"He... hanya seperempat sih." Ucap Nayla. Lalu nyengir kuda. Membuat Sabrina menepuk jidatnya pelan.

"Hiperbola nih." Cibir Sabrina.
"Heh, susah tau nyusunnya. Hampir setengah bulan itu yang garap." Nayla membela diri.
"Psikolog nggak profesional nih."
"Heh, jaga tu omongan! Lagian baru kali ini kan, aku yang murung gara-gara urusan pribadi terus dibawa ke tempat kerja?"
"Ya meskipun Nay... profesionalisme Nay."
"Iya deh iya... habis ini nggak lagi."

***

"Kenapa nggak minta bantuan temen kamu aja sih Nay? Siapa tahu bisa bantu. Ya meskipun dia nggak kuliah S3."
"Frans maksudmu?"
"Ya, siapa lagi?"
"Nggak enak Na. Dia punya kesibukan sendiri. Nggak mau ngerepotin orang lain, aku."

"Terus, masalah ummimu, tadi apa? Maksa kamu nikah lagi?"
"Iya. Katanya ummi biar ada yang ngurusin aku. Tapi, kamu tahu sendiri aku nggak bisa. Aku udah bilang aku nggakk bisa. Tetap aja."
"Ya pasti niat ummimu baik Nay. Kenapa nggak iya-in aja sih."
"Dikira gampang apa buka hati lagi? Enak aja main iya iya aja. Aku malas ngebahas itu Na. Lagian mau nikah sama siapa coba? Please deh jangan ngaco!"
"Terserah kamu deh Nay."
"Ya udah deh. Lanjut kerja aja."
"Ok."

RENNAY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang