34. Sidang Terbuka

26 3 0
                                    

"Nay, pagi..." Sapa Frans ketika Nayla sudah menginjakkan kakinya di tempat kerjanya.

"Hei, pagi juga. Are you okay?" Tanya Nayla. Masih kepikiran dengan kejadian di rumahnya--rumah Rendy, tepatnya--kemarin.
"I'm okay. Really." Nayla menghela napas lega mendengar jawaban Frans. Apalagi melihat wajahnya yang memang biasa-biasa saja.

Nayla dan Frans beranjak ke arah tempat kerjanya masing-masing. Mereka memulai aktivitas pekerjaan mereka hari ini dengan sangat riang dan gembira. Sehingga ketika bertemu dengan klien, mereka tidak lagi merasakan distress karena karakter masing-masing kliennya yang berbeda-beda.

"Gimana disertasinya kemarin?"

Frans dan Nayla kembali bertemu untuk makan siang. Keduanya sudah duduk di salah satu warung terdekat dari tempatnya bekerja, dan sudah memesan makanan.

"Sukses. Bulan depan udah sidang terbuka." Jawab Nayla antusias.
"Alhamdulillah." Ucapan pujian Frans mendengar kabar gembira itu.

"Woy, man... katanya kemarin kamu nganterin Nayla ke rumahnya, gimana abinya?"

Fahreza tiba-tiba muncul di depan Nayla dan Frans membuat keduanya sedikit kaget. Kemudian duduk sebangku dengan mereka diikuti Sabrina yang juga mengekor di belakangnya. Maklum lah, pengantin baru. Maunya bareng-bareng terus.

"Iya."
"Pake nanya segala kamu yang, kayak gak tahu bapaknya si Rendy kamu. Frans kemarin gak jadi nganterin Nayla ke kampus. Balik lagi ke kantor." Malah Sabrina yang menjawab bukan Frans maupun Nayla.

"Beneran Frans, Nay?" Keduanya hanya mengangguk.
"Kenapa kalian nggak nikah aja sih. Lagian sama-sama jomblo kan?" Ucap Reza lagi, tanpa memfilternya sedikit pun. Nayla sontak menundukkan kepalanya.

Sabrina mengerti. Dia menyenggol lengan suaminya agar menoleh ke arah Nayla. Dan, ya. Suasana canggung pun tercipta di antara mereka. Nayla diam.

"Udahlah lupain aja. Biasa, maklumin. Suami aku emang gitu, suka ceplas ceplos gak tahu sikon." Ucap Sabrina.

***

"Selamat nona Nayla Syarifah, anda dinyatakan lulus."

Nayla menghela napas lega begitu mendengar kata-kata terakhir dosen pengujinya setelah melalui serentetan pertanyaan bertubi-tubi dari delapan penguji sekaligus, Nayla berhasil menyelesaikan sidang disertasinya dengan lancar. Wajahnya berbinar-binar. Siapa yang tidak bahagia, jika hasil kerja kerasnya berbuah kesuksesan? Semua anggota keluarga Nayla, baik dari pihak Rendy, maupun dirinya, yang sengaja datang menghadiri sidang itu, juga sudah tersenyum bahagia melihat kesuksesan Nayla. Terlihat Savina juga hadir, membawa serta kedua sahabatnya yang lain. Dara dan Farhat. Sabrina dan Fahreza, juga hadir. Di tambah Frans yang juga ikut hadir. Ada tatapan yang berbeda dari lelaki California itu saat menatap mata Nayla yang sedang tersenyum ke arahnya. Nayla keluar dari ruang ujian itu, dan menemui mereka semua.

"Mama, ibu,"

Yang pertama Nayla samperin adalah kedua ibunya yang sudah membesarkannya menjadi seperti sekarang. Air matanya pun luruh. Begitu pun kedua ibunya. Memang seharusnya begitu bukan? Sebutan mama itu, Nayla khususkan untuk orang yang melahirkannya. Mama kandungnya. Sedangkan sebutan ibu, Nayla khususkan untuk orang yang mengasuhnya sejak ia duduk di bangku SD. Ibu Minah--ibu asuhnya. Nayla mencium punggung tangan keduanya secara bergantian.

"Selamat sayang. Mama bangga sama kamu nak. Kamu bisa sesukses ini meski tanpa Rendy di samping kamu."
"Terima kasih ma." Nayla memeluknya erat. Beralih pada bu Minah.
"Selamat sayang. Ibu bahagia lihat kamu bahagia. Sukses terus nak."
"Makasih bu." Nayla juga memeluknya erat.

Ayahnya--baik kandung maupun angkat--sudah meninggal sejak lama. Selama ini Nayla memang tidak begitu lama tinggal bersama kedua ayahnya.

"Abi, ummi, makasih, udah nemenin Nayla sampai sejauh ini."
Nayla menatap kedua mertuanya itu dengan mata yang sudah dibasahi air mata.
"Iya nak. Sama-sama. Terima kasih sudah menjadi kebanggan kami. Kami sayang sama kamu."

Mereka berdua juga banyak berperan penting dalam hidup Nayla. Delapan tahun, dia bisa bertahan dalam rumah suaminya, karena kebesaran hati keduanya, menerima Nayla dan menyayanginya seperti anak kandungnya sendiri.

"Nayla... selamat, selamat... gue nggak nyangka lo bisa sampai tahap ini... selamat Nay..."

Dara, Savina, dan Farhat sudah berkumpul mengelilingi Nayla. Nayla bahagia, karena bisa berjumpa kembali dengan mereka, setelah lama tidak bertemu. Mereka terpisah sekitar delapan tahun, lamanya.

"Makasih kalian udah mau datang. Makasih karena kalian juga melengkapi kebahagiaanku. Kalian harus datang saat aku wisuda nanti!"
"Akan kita usahain buat lo, Nay." Ucap Farhat.
"Gue seneng, karena masih ditakdirkan sembuh dan bisa ketemu lagi sama kamu, Nay. Alhamdulillah banget. Jujur, pas gue ngalamin nasib buruk di Bali, sebelum ketemu Dara, gue udah putus asa. Tapi, sebisa mungkin aku bertahan hidup karena Rendy. Ya, gue selalu ingat soal Rendy yang kuat. Dan akhirnya, gue berhasil. Gue udah sembuh, Nay."
"Alhamdulillah. Masih kan Hat? Sorry,"
"Iya. Gue tetep dengan keyakinan gue Nay."
"Alhamdulillah."

Nostalgia. Mereka mengembalikan ingatan masa lalu mereka saat masih duduk di bangku SMA, dengan berbagi cerita antar yang satu dan yang lain.

"Sabrina, teman seperjuangan aku di perguruan tinggi dan kerja. Thank you so much, buat semuanya. Kamu mau selalu ada buat aku. Terima kasih udah support aku, untuk bisa menyelesaikan ini semua dengan lancar."
"Sama-sama Nay. Aku juga makasih. Karena sejak temenan sama kamu aku udah bisa berubah menjadi lebih baik. Sukses, teman."

Sabrina dan Nayla saling berpelukan. Saling melepaskan kebahagiaan antar yang satu dengan yang lain. Membiarkan tetes demi tetes air mata, membasahi pipi keduanya.

"Rez, makasih udah mau datang dan nganterin Sabrina ke sini."
"Iya. Sama-sama Nay. Selamat ya."

Satu-satunya orang yang diam sejak tadi adalah Frans. Entah apa yang harus ia lakukan. Ia bingung. Ia malah memilih menatap Nayla dari jauh dan tidak bergabung dengan kumpulan keluarga dan teman-teman Nayla. Mungkin dia merasa asing, apalagi dengan kejadian di rumah Nayla kemarin. Dia masih sungkan untuk bertemu kembali dengan abinya Rendy.

"Selamat Nay. Aku seneng bisa lihat kamu bahagia dengan kesuksesan kamu. Sorry, gak bisa gabung sama kalian." Frans malah mengucapkan selamatnya lewat pesan WhatsApp.

"Iya. Makasih Frans. Aku ngerti kok.👍"
"Aku balik duluan. Sorry, gak sopan. Gak pamit dulu sama keluargamu."

"Kamu kenapa Nay, kok lihatin ponsel terus? Ada kerjaan mendadak?" Suara bu Minah membuat Nayla menengadahkan kepalanya. Tidak sadar jika dirinya sejak tadi diperhatikan oleh ibu asuhnya itu. Nayla tersenyum kikuk.

"Itu siapa? Kayaknya lihat ke arah kamu. Teman kamu? Kok gak diajak ke sini sih?" Tanya bu Minah lagi.

Membuat Nayla semakin salah tingkah ketika ibunya malah mengetahui keberadaan Frans. Frans yang mengerti kalau keberadaannya sudah diketahui oleh salah satu anggota keluarganya Nayla, terpaksa berjalan ke arah mereka, dan bergabung. Dengan gontai ia melangkah menuju kumpulan keluarga Nayla.

"Frans, kamu datang juga?" Ummi Aisyah langsung menyapa Frans.
"Iya tante."
"Bu, Ma, Hat, Vin, Dar, kenalin, teman kerja aku di sini, Fransisco Abraham, dari California."

Nayla memperkenalkan Frans pada mereka. Frans menundukkan pandangannya memberi hormat pada mereka. Mereka menerima kehadiran Frans dengan baik.

"Makasih nak Frans. Udah nyempetin datang ke acaranya Nayla. Saya mama kandungnya Nayla. Halimah. Ini ibu angkatnya, bu Minah."
"Iya tante. Salam kenal."

Setelah itu, mereka semua memutuskan untuk makan bersama di sebuah cafe, untuk merayakan keberhasilan Nayla.

RENNAY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang