15. Rencana Rendy

21 4 0
                                    

Ternyata kebersamaan mereka membuat beberapa mata yang selalu mengawasi mereka, tampak kesal sekali. Mata-mata itu seperti menyimpan rasa marah dan ingin segera meluapkannya.

“Rendy...” Ucap Nayla pelan ketika tak sengaja melihat sekilas wajah seorang lelaki yang sangat mirip dengan Rendy duduk di belakang mereka.

Beberapa saat lamanya Nayla membuang wajah dari Arya untuk memastikan kalau orang itu bukan Rendy. Dan ternyata setelah kedua kalinya Nayla menatap arah itu, tidak ada orang.

Ah, masak iya gue salah lihat. Nayla menggerutu dalam hati.

Sebenarnya bukan pada waktu itu saja Nayla merasa Rendy selalu mengikutinya. Tapi sebelum-sebelumnya dia tidak menghiraukan karena mungkin hanya kebetulan. Nayla kemudian pamit pergi sebentar kepada Arya untuk memastikan kembali kalau tidak ada Rendy yang mengikutinya dengan Arya. Karena merasa tak mendapat jawaban atas penasarannya itu, Nayla kembali ke tempat Arya.

Matahari sudah berwarna kekuningan. Nayla mengajak Arya untuk mengantarnya pulang karena khawatir ibunya mencarinya. Setelah membereskan barang-barangnya Nayla naik ke boncengan Arya dan pulang. Seperti biasa Nayla tidak mau jika Arya mengantarnya sampai ke rumah. Tepat di tempat pangkalan ojek Arya menurunkan Nayla. Lagi dan lagi, Nayla merasa ada bayangan Rendy mengikutinya.

“Ren, lo ngikutin gue ya?”

Rendy kepergok oleh Nayla. Rendy gugup untuk menjawab apa kepada Nayla.

“Enak aja.. gr banget lo...”
“Rendy bukannya gue mau gr ya... cuma selama beberapa waktu terakhir saat gue bareng Arya, gue ngerasa kayak ada wajah lo gitu. Nyebelin banget tahu nggak...”
“Cie, ada yang selalu terbayang-bayang sama gue nih...”
“Rendy... kok lo sih yang malah ke-gr-an. Cuma sekedar feeling doang. Kadang feeling itu ada gak benarnya kan?”
“Ehem, ehem...”
“Rendy apaan deh...”
“Ya siapa tahu aja lo khawatir sama gue...” Ucap Nayla pelan.
“Apa, gue khawatir sama lo? Hello... Nayla kayaknya lo mesti dibawa ke rumah sakit jiwa deh... tingkat gr lo itu udah overdosis banget. Ngapain coba gue khawatir sama lo.. emang lo siapa?”
“Udah deh Ren, ngaku aja...”
“Kalau gue bilang iya lo mau apa? Iya, gue khawatir sama lo...”
“Sejak kapan lo perhatian sama gue?”
“Tu kan, tadi maksa gue buat jawab iya... saat gue udah bilang iya lo malah gak percaya...”
“Ya gimana gue bisa percaya sama lo Ren, selama ini lo gak pernah ngertiin gue, lo selalu bikin gue sakit hati.. wajar aja kalau gue gak percaya...”
“Nayla Syarifah... eh, bukan ya? Sorry, gue asal nyebut.. dengerin nih ya, semua orang tahu gue itu orangnya care banget sama orang lain, gue perhatian dan pengertian cuma lo-nya aja yang gak pernah sadar. Lo gak pernah sadar kalau gue sa... sama lo...”

Kata-kata Rendy semakin pelan hingga tak terdengar jelas di telinga Nayla.
“Sa, apa Ren?”
“Gue sa... sa... gue saa... ngat kesal sama lo karena gak mau dengerin kata-kata teman-teman lo.”

Niatnya si Rendy mau ngungkapin perasaannya sama Nayla, cuma karena dia merasa tidak siap untuk menangguhkan konsekwensinya kepada Nayla jika dia jadian sama Nayla, makanya Rendy memelesetkan kata-kata yang asalnya sayang menjadi sangat kesal. Nayla terpaku tidak mengerti dengan arah pembicaraan Rendy.

“Apa hubungannya lo dengan teman-teman gue?”
“Gue gak suka lo sama-sama dengan dengan Arya.”
“Maksudnya?”
“Urusan lo apa, lo gak punya hak ngatur-ngatur gue... mau gue jalan sama siapa kek, bukan urusan lo..”
“Lo itu memang benar-benar cewek egois tahu nggak. Sumpah, dari sekian cewek yang gue temuin di muka bumi ini cuma lo doang yang egois.”
“Ok, gue memang gak punya hak untuk ikut campur urusan lo Nay, karena gue bukan siapa-siapa dalam hidup lo. Tapi urusan lo adalah urusan teman-teman lo..”
“Iya, ok.. urusan gue urusan teman-teman juga, tapi apa hubungannya sama lo. Teman-teman gue gak pernah ada komplain kok dengan kedekatan gue dengan Arya. Kenapa lo yang keberatan?”
“Asal lo tahu ya Nayla, kalau bukan karena mereka yang minta bantuan gue, mana mau gue ikut campur urusan kalian. Mending gue di rumah aja. Tidur dan nyantai...”
“Kalau lo merasa keberatan kenapa lo ngelakuin itu?” Suara Nayla mulai meninggi.
“Teman-teman lo yang minta gue buat ngikutin lo dan Arya karena mereka khawatir sama lo...”
Suara Rendy tak kalah tingginya.

Sebenarnya dokter melarang Rendy untuk menggunakan suara tinggi karena akan mengganggu fungsi jantungnya. Tapi kata-kata Nayla sudah memancing emosi negativenya.

“Mereka males buat komplain sama lo karena kata mereka lo gak bakal dengerin mereka.”
“Lo sadar gak sih Nay, kalau kedekatan lo dan Arya udah mengubah semuanya?”
“Lo sadar nggak sih kalau teman-teman lo ngerasa kehilangan lo banget saat lo lost contact dengan mereka. Seenggaknya nyapa lah Nay sama mereka biar mereka gak merasa sebagai orang asing di mata lo.”
“Lo juga mulai gak mau deket-deket lagi dengan mereka, mentang-mentang lo udah ketemu dengan cowok impian lo...”
“Lo juga sering mengabaikan study lo dan sering bolos. Lo sadar gak sih kalau Arya itu cuma bawa pengaruh negative sama lo?”
“Itu yang gue dan teman-teman lo gak suka dari kedekatan lo dan Arya.”
“Terserah lo mau dengerin gue atau nggak, yang penting gue udah berusaha mewujudkan keinginan teman-teman lo.. gue kecewa sama lo Nay..”

Rendy beranjak pergi meninggalkan Nayla yang masih mematung. Rendy beranjak pergi meninggalkan Nayla yang masih mematung.

“Guys, ternyata Rendy marah beneran sama Nayla, gue takut Rendy kenapa-napa...” Farhat panik menyaksikan pertengkaran dahsyat antara Nayla dan Rendy barusan.
“Lo kok malah mengkhawatirkan Rendy sih Hat, bukannya Nayla...”
“Dara... lo lupa apa gimana sih, Rendy itu kan punya kelainan jantung... dia gak boleh dikasarin ataupun ditekan emosinya.”
“Oh iya Hat, gue lupa...”
“Yuk kita samperin Rendy... ntar pingsan dia.”

Farhat, Dara dan Savina langsung berlari untuk nyamperin Rendy. Ya, mereka berempat memang sengaja bersekongkol untuk mengikuti Nayla dan Arya, karena mereka khawatir dengan keselamatan Nayla.

“Ren, lo gak papa?”

Farhat, Dara dan Savina tampak heran melihat kondisi Rendy yang baik-baik saja, padahal mereka tahu kalau Rendy merasa tertekan wajahnya pasti pucat dan gemetar. Tapi waktu itu Rendy malah santai-santai saja.

Mereka bertiga berbeda dengan Nayla. Sejak pertemuan pertama mereka dengan Rendy di parkiran, mereka memang sudah bisa menerima kehadiran Rendy. Mereka juga sudah menganggap Rendy bagian dari mereka meski Nayla seringkali menolak. Hari itu setelah insiden panas antara Nayla dan Rendy, Rendy tampak duduk di sebuah bangku yang ada di bawah pohon asam.

“Seperti yang kalian lihat..” Jawab Rendy dengan santainya.
“Ren, tadi lo beneran marah sama Nayla... kok bisa lo baik-baik saja, bukannya lo...”
“Hahaha... bagus ya acting gue guys?”
“Maksudnya Ren?”
“Iya, kalian aja baper dengan kata-kata gue tadi apalagi Nayla?”
“Jadi ceritanya lo gak beneran marah sama Nayla?”
“Ya nggaklah... tadi itu cuma bagian dari taktik gue buat bikin si Nayla luluh. Tapi bagus kan?”
“Iya bagus Ren, sampai-sampai kita langsung kepikiran lo. Lo kalau marah gimana gitu...”
“Iya, sorry guys... gue rasa apa yang gue lakukan bener dan akan berhasil kok. Gue yakin.”

RENNAY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang