29. Pria California

24 3 0
                                    

"Halo, kenalkan saya orang yang akan menjadi partner kerja anda tiga tahun mendatang."

Seorang lelaki yang memiliki wajah putih bersih dan sepertinya berusia lebih tua sedikit dibanding Nayla dengan tanpa mengetuk pintu langsung masuk menemui Nayla di ruang kerjanya. Wajahnya mirip dengan Rendy. Itu sebabnya Nayla sedikit kaget melihatnya. Nayla sempat diam untuk meneliti orang itu. Astaghfirullahal adzim, Nayla beristighfar ketika dia sadar kalau laki-laki yang berdiri di depan meja kerjanya itu bukanlah Rendy.

"Maaf, saya lancang masuk tanpa ijin. Tadi saya mengetuk pintu, tidak ada jawaban."
"Oh iya tidak masalah. Silahkan duduk..." Ucap Nayla sedikit terbata-bata karena salah tingkah dilihatin laki-laki itu.
"Kenalkan, saya Frans orang yang ditugaskan bapak Gunawan untuk membantu anda di sini."
"Oh iya. Salam kenal ya pak Frans, saya Nayla Syarifah." Nayla mendekap kedua tangannya di depan dada.
"Jangan panggil saya bapak, panggil saja Frans... kita teman kerja."
"Ok, Frans.." Nayla masih sedikit kaku untuk memanggil Frans dengan namanya.
"Ini foto siapa?" Frans menunjuk sebuah figura kecil berukuran 4 R yang terpajang manis di meja kerja Nayla.
"Suami saya. Rendy namanya."
"Tampan sekali, cocok dengan mbaknya. Dia di mana sekarang?"
"Em, suami saya sudah meninggal delapan tahun yang lalu, sekitar satu jam setelah pelaksanaan akad nikah kami."
"Maa Sya'Allah Nayla, maaf maaf... saya nggak tahu kalau suami kamu meninggal."
"Oh tidak masalah... I'm fine. Ok, kita mulai kerjanya sekarang, bisa?"
"Apa tidak terlalu cepat. Saya bahkan masih belum tahu lebih jauh tentangmu. Tentang keluargamu, tempat tinggalmu, latar belakang pendidikanmu, dan pengalamanmu bekerja di sini?"
"Baiklah. Setengah jam ke depan kita kenalan dulu. Baru setelah itu kita siap-siap melayani klien."
"Perempuan yang hebat. Bisa mengatur waktu dengan baik." Puji Frans tanpa malu-malu.
"Memang seharusnya begitu bukan? Menjadi seorang psikolog harus disiplin waktu, bukan?" Nada bicara Nayla meski pelan tapi terkesan merajuk. Membuat lelaki di depannya ini, meneguk salivanya. Kaget.

Ternyata perempuan ini dingin. Apa karena meninggalnya suaminya itu?

"Ok." Jawab Frans setelahnya.
"Saya asli Madiun, tapi pindah ke sini, ikut suami. Bahkan sampai suami saya meninggal pun, saya tetap tinggal di rumah mertua saya. Alasannya, abi sama ummi sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Rendy anak semata wayang. Kalau saya sendiri punya dua saudara. Cewek semua. Mereka tinggal di Madiun, sama mama dan ibu angkat saya."
"Dulu, waktu SMA saya satu sekolah sama Rendy; di SMA Taruna. Habis kita lulus, kita nikah. Ya, terus saya nggak kuliah satu tahun lantaran saya mau istirahat study, dan masih dalam masa berduka. Saya masih menjalani iddah juga."

Nayla menceritakan semuanya secara detail, tanpa ada yang tertinggal. Membuat lelaki yang sedang menyimak ceritanya itu manggut-manggut dan merasa kagum. Nayla wanita yang kuat. Dia bahkan terlihat santai saat bercerita tentang Rendy yang sudah meninggal. Ya walaupun, ada setitik air mata yang muncul di pelupuk matanya. Tapi dia mampu membuat air mata itu tidak luruh di depan Frans. Dia sangat tegar.

"Saya kuliah sudah S1 dan S2 di sini. Di jurusan Psikologi Sosial. Semester pertama masih bayar. Abi dan ummi yang biayai. Semester ke dua dan seterusnya, sampai lulus S2, saya dapat beasiswa dari kampus. Lalu, saya dipanggil untuk bekerja di sini, sambil lalu kuliah. Saya masih melanjutkan S3 di sini, masih dalam jurusan yang sama, dan sudah tahap penyelesaian disertasi. Beasiswa juga. Maaf bukan niat mau menyombongkan diri dengan mengungkapkan soal beasiswa. Cuma biar nggak ada yang di tutup-tutupi saja. Biar jelas semuanya."

"Iya, saya mengerti. Terima kasih sudah sangat terbuka sekali sama saya."
"Selama ini apa kamu pernah menikah setelah kematian suami kamu?"
"Tidak. Saya terlalu mencintai suami saya, sehingga tidak mampu membuka hati lagi. Saya sudah nyaman dengan keadaan ini. Lagi pula saya juga sudah tua, malas ngurusin hal begituan." Tukas Nayla tanpa ada keraguan sedikit pun.

"Apa kamu tidak ingin mempunyai keturunan?"
"Sebenarnya ingin. Tapi, ya seperti yang saya katakan tadi. Saya sudah memutuskan untuk tidak berkeluarga lagi, dan saya harus tahu diri dengan konsekwensinya. Saya ada rencana mau adopsi anak saja."

"Pengalama bekerja di sini, ya sama kayak psikolog-psikolog yang lain. Mau dibilang menyenangkan, lumayan. Karena ketika menghadapi klien yang karakternya tempramental, atau bipolar, dan gangguan yang lainnya itu, butuh kesabaran ekstra. Mau dibilang menyedihkan, juga tidak terlalu. Karena dengan bekerja di sini saya bisa belajar untuk lebih bersyukur lagi dengan nikmat-nikmat yang Allah berikan, karena saya tidak ditakdirkan mengalami hal yang sama seperti mereka. Dan mengetahui betapa agungnya ciptaan tuhan yang menciptakan berbagai macam karakter mahluknya dan segalanya yang menyangkut mahluknya. Dan, Alhamdulillah saya nyaman-nyaman saja di sini, saya betah bekerja di sini. Ya, cuma karena pertambahan jumlah klien yang semakin meningkat di sini, makanya saya minta ke pak Gunawan untuk menugaskan satu orang lagi, karena saya takut keteteran."
"Di sini ada empat psikolog yang bekerja."
"Kalau kamu sendiri, gimana?"

"Saya Aslinya dari California. Tapi pindah ke sini tiga tahun yang lalu, ikut papa. Untuk kuliah S1 saya masih di California. S2 di sini, di jurusan Psikologi Sosial juga."
"Alasan kamu pindah, karena mama sama papa cerai. Ada konflik keluarga yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan sehingga memutuskan berpisah saja. Makanya saya tidak berani untuk melangkah ke jenjang pernikahan lantaran itu."

"Jadi, kamu masih jomblo? Eh, maaf."
"Iya. Saya takut. Saya trauma dengan kejadian papa dan mama. Semenjak kecil, saya tidak pernah melihat papa dan mama akur. Bertengkar terus. Saya distress lah waktu itu. Makanya saya mencari jalan untuk mengalihkan rasa trauma saya, dengan belajar. Hingga saya memutuskan untuk tidak menikah. Tapi, saya tidak bisa menjamin kalau keputusan itu akan terwujud. Karena semenjak pindah ke Indonesia dan berprofesi sebagai psikolog, ketakutan saya itu perlahan menghilang."

"Em, sudah waktunya menemui klien." Ucap Nayla sambil melirik jam di pergelangan tangannya.

Nayla dan Frans bangkit dari tempat duduknya masing-masing dan melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya menuju tempat kliennya.

Ya, setelah beberapa tahun bekerja di lembaga pembinaan sosial ini, Nayla memang membutuhkan tenaga untuk membantunya menangani klien-kliennya, karena pertambahan jumlah mereka yang semakin meninggi. Nayla khawatir tidak bisa memaksimalkan pekerjaannya jika terlalu banyak yang harus dilayani. Nayla langsung menghubungi pihak pimpinan direksi untuk mengirim salah satu pegawai di sana untuk membantunya. Dan orang yang dipilih adalah Fransisco Abraham, seorang pria keturunan California yang bertempat tinggal di Indonesia tiga tahun yang lalu. Kebetulan sekali dia seorang muslim, jadi tidak terlalu sulit lah untuk menyambung pembicaraan dengannya jika menyangkut hal-hal ketuhanan.

Ternyata Frans adalah teman sekolahnya Sabrina dulu waktu SMA di California. Ya, Sabrina memang pernah tinggal di California selama SMA karena urusan bisnis papanya di sana. Dan kembali melanjutkan S1 dan S2 di Surabaya. Sejauh yang Nayla tahu sejak pertama kenal dengan Frans, Frans itu tipe orang yang baik dan sangat care terhadap sesama. Banyak para klien-klien Nayla yang sebelumnya patah semangat untuk sembuh, sekarang kembali mempunyai semangat karena motivasi dari Frans. Dan hal itu malah membuat Nayla kembali teringat akan bayang-bayang Rendy, yang sudah lama tak begitu menghantui pikirannya. Selain wajah Frans yang memang mirip dengan Rendy sikap dan kepribadian Frans sebagian besar banyak yang sama dengan Rendy. Itu yang membuat Nayla sedikit sedih dengan bergabungnya Frans dalam dunia kerjanya.

RENNAY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang