3. Tentang Vindra

55 4 0
                                    

Tanpa terasa seminggu sudah per yang bernama Kania itu tinggal bersama Nayla. Dan yang dapat Nayla simpulkan dari hasil penelitiannya mengenai gadis itu, Kania memang termasuk orang yang introvert dan sulit didekati. Dia merupakan tipe orang penyayang dan mudah merasa kehilangan jika orang yang disayang pergi dari sisinya.

Sampai sejauh ini, Kania sudah mulai terbuka tentang kehidupannya. Tinggal satu yang belum siap ia ceritakan, yaitu tentang Vindra; suaminya.

Pagi ini, setelah mengecek kondisi klien yang ada di blok Mawar, Nayla kembali menemui Kania di kamarnya. Berharap ia bisa menceritakan tentang Vindra itu hari ini.

"Hai." Perempuan yang disapa Nayla menoleh dengan wajah cerah. Nayla tersenyum melihat perubahan itu.

"Masuk, Mbak."

Mendengar instruksi seperti itu, Nayla mengambil langkah memasuki ruangan Kania. Nayla pun duduk di samping Kania.

"Foto siapa?" tanya Nayla melihat figura di tangan kanan Kania.
"Suami saya mbak," jawabnya singkat.
"Oh, siapa namanya? Tampan," komentar Nayla.
"Vindra Rizky Indrajaya. Makasih atas pujiannya."

Perempuan itu menundukkan kepalanya setelah menjawab pertanyaan Nayla. Ada setitik air jatuh membasahi figura itu. Nayla yakin, gadis itu kembali menangis. Siapa yang tidak sedih jika teringat orang yang kita cintai tetapi telah dipanggil dahulu oleh Allah? Nayla pun mengalami hal yang sama.

"Hei, kok nangis?"
"Aku sedih, Mbak, karena secepat itu dia ninggalin aku. Dia udah janji gak akan ninggalin aku, tapi nyatanya dia malah pergi dan tidak akan pernah kembali."

Nayla memegang pundak Kania, lalu mengelusnya lembut.

"Jadi, kamu sadar kalau suami kamu sudah meninggal?" Kania mengangguk pelan.
"Dan kamu tidak terima itu, lalu memilih menangis dan mengurung diri di kamar, berharap Vindra akan kembali?" Perempuan itu kembali mengangguk.

Nayla meraih figura di tangan kanan Kania, lalu meletakkannya di nakas. Nayla mengangkat wajah Kania agar mengahadap ke arahnya, dan menatap matanya.

"Berapa lama usia pernikahanmu dengan Vindra?" tanya Nayla dengan suara lembut.

"Sudah satu tahun, Mbak," jawabnya sambil sesenggukan.
"Kamu tahu, enggak, kalau setiap ada awal pasti ada akhir? Kalau ada pertemuan pasti ada perpisahan?"

Perlahan, Nayla berbicara agar mudah mendapat jawaban. Kania terlihat menganggukkan kepala lagi.

"Kamu juga pasti tahu, setiap manusia itu pasti akan meninggal, bukan?" Lagi, gadis itu hanya mengangguk. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari lisannya.
"Lalu kenapa kamu sampai seperti ini?"
"Aku belum siap ditinggalkan Vindra, Mbak. Aku sangat terpukul, karena di saat aku lagi sayang-sayangnya sama dia dan aku sedang mengandung anaknya, dia malah pergi. Yang aku pikirkan bagaimana membesarkan anak ini tanpa ayahnya? Itu yang buat saya terpuruk, Mbak."

Nayla ikut menundukkan kepala sejenak. Ia bisa merasakan tubuh Kania yang bergetar karena tangis yang semakin menjadi.

Menyakitkan. Itu yang ikut dirasakan oleh Nayla, setelah mendengar cerita di balik kacaunya dia. Nayla prihatin dengan keadaan Kania yang sedang mengandung, tetapi harus menjalaninya seorang diri.

Tuhan, seandainya aku yang ada di posisi Kania, apakah aku bisa melewatinya? batin Nayla.

"Aku sangat menyayangi Vindra, Mbak. Dia adalah orang yang paling mengerti aku, setelah Mama. Jujur, sejak aku ketemu dia, aku merasa punya semangat hidup lagi, setelah beberapa tahun yang lalu, aku ditinggal pergi orang-orang yang aku sayang," kata Kania lagi.

"Vindra sangat baik. Dia perhatian dan pengertian sama aku."

Kania kembali manangis kejer setelah mengatakan kalimat itu. Terbayang setiap kelembutan suaminya itu, saat memperlakukannya. Semuanya terasa begitu indah. Kebersamaan dengan Vindra sangat mempengaruhi hidupnya, hingga ia melupakan satu hal yang sewaktu-waktu bisa terjadi, yakni kematian. Lalu, pada saat waktu itu tiba, Kania yang terlupa akan hal itu menjadi down dan terpuruk.

"Kania, lihat Mbak Nayla baik-baik!" Dengan sedikit paksaan dari Nayla, perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap netra Nayla, dengan linangan air mata yang masih membasahi kedua pipinya.

"Mbak tanya, apa dengan menangis dan mengurung diri berhari-hari bisa mengembalikan suami kamu yang sudah meninggal?" Kania menggeleng kecil.
"Seandainya Vindra tahu kamu bersikap seperti ini sejak ditinggalkan dia, apa dia akan sedih?"

"Tentu saja. Dia sangat mencintai aku. Dia selalu bilang kalau dia nggak suka aku nangis," jawab Kania di sela-sela isak tangisnya.
"Kalau kamu tahu jawabannya, kenapa masih melakukannya, hm?"
"Aku sedih, Mbak."
"Kania ... sedih boleh-boleh saja. Tapi, kamu harus bisa mengontrol diri kamu agar tidak terjerumus ke jalan yang salah," kata Nayla memperingati.
"Kamu tahu, siapa saja yang juga ikutan sedih karena sikap kamu? Mama kamu, Kania. Kamu lihat, mama kamu sampai nangis seperti kemarin di depan Mbak? Masih ada yang sayang sama kamu, Kania. Masih ada yang peduli dengan nyawa kamu."

Kania tidak menjawab. Ia terus menangis. Sepertinya ucapan Nayla memberi efek padanya. Sesekali terdengar ia meracau, menyebut kata 'maaf' dan 'Mama' di sela-sela tangisannya. Nayla menarik napas kuat-kuat, lalu mengembuskannyabperlahan.

"Mau melakukan sesuatu yang buat suami dan calon anak kamu yang masih dalam kandungan kamu itu bahagia?" tanya Nayla kemudian. Perempuan itu hanya mengangguk.

"Berhenti untuk menangisi Vindra. Kamu harus bangkit. Jalani hidup kamu seperti sedia kala. Move on."
"Tapi move on 'kan-"
"Move on itu bukan melupakan, Kania. Tapi mengikhlashkan apa yang sudah terjadi. Kalau move on kamu artikan dengan melupakan, itu sulit untuk dilakukan. Karena apa? Sesuatu yang sudah pernah terjadi dalam hidup, sejatinya sulit untuk dilupakan. Dia ada untuk dikenang--diingat bukan untuk dilupakan."

Kania tercenung sebentar, memikirkan ucapan Nayla.

"Kamu siap hidup normal?"

Perempuan itu tampak ragu-ragu. Nayla mengerti itu.

"Tapi, Mbak?" sahutnya dengan alis bertaut.
"Demi anak kamu, demi suami kamu, dan demi mama kamu. Mereka akan bahagia kalau kamu bangkit dari keterpurukan ini," jelas Nayla.

"Bagaimana?" tanya Nayla lagi, untuk memastikan jawabannya.
"Iya."

Setidaknya mendengar satu kata yang terucap dari bibir perempuan itu, membuat Nayla menghela napas lega. Lega karena perempuan yang berstatus kliennya ini, mau bangkit dari keterpurukannya.

RENNAY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang