17. Panik

18 2 0
                                    

Beberapa waktu setelah itu Rendy kembali ditemukan pingsan di kelas. Savina, Farhat dan Dara yang sedang ngumpul langsung membawa Rendy ke ruang kesehatan.

Waktu itu, Nayla sedang tidak bersama mereka karena masih menyelesaikan urusannya dengan pak Reyhan di kantor. Selepas bertemu pak Reyhan, Nayla kembali ke kelas. Rasa bingung pun langsung menyergap dadanya. Tidak seperti biasanya, tiga sahabatnya, Farhat, Savina dan Dara pergi sebelum pamit sama Nayla. Nayla beranjak keluar kelas dan menghampiri beberapa siswa yang sedang bergerombol dan menanyakan keberadaan mereka. Salah satu diantara mereka ada yang memberi tahu bahwa mereka bertiga membawa Rendy ke ruang kesehatan.

Nayla langsung berbalik arah menuju ruang kesehatan begitu mendengar informasi itu. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di ruang kesehatan SMA Taruna, karena lokasinya yang berada di lantai satu, sedangkan kelasnya Nayla di lantai dua. Waktu lima belas yang sebelumnya terasa singkat itu, berubah menjadi terasa lama. Karena ketidak sabaran Nayla ingin segera bertemu Rendy membuatnya beberapa kali jatuh karena tersandung.

“Guys... menurut gue, mending kita kasih tahu Nayla saja soal sakitnya Rendy... kasihan dia pasti khawatir...” Ucap Savina.
“Gue gak setuju...” Farhat menyangkal.
“Lah, kenapa Hat? Lagian Nayla dan Rendy kan udah baikan?”
“Justru karena mereka udah baikan gue gak setuju. Bahkan meski mereka belum baikan juga gue gak setuju.”

Wajah Savina dan Dara datar. Saling tatap satu sama lain. Saling menggigit bibir. Tak mengerti dengan apa yang dipikirkan Farhat.

“Rendy sakit apa sih?”

Akhirnya Nayla sampai juga di depan ruang kesehatan SMA Taruna. Wajahnya basah dengan keringat yang mengucur. Napasnya berhembus kasar.

“Cuma kecapean doang Nay...” Farhat langsung berdiri untuk menghindari kecurigaan Nayla.
“Tapi wajah kalian serius banget?”
“Biasalah Nay, kita kan panik gara-gara Rendy pingsan tadi. Paniknya dikasih pengawet Nay...”

Farhat mencoba berguyon untuk mencairkan suasana, sambil menyeringai pelan dan melirik dua temannya sebagai isyarat untuk berpura-pura tenang di depan Nayla. Nayla tak mau ambil pusing. Dia langsung beranjak memasuki ruang kesehatan untuk menjenguk Rendy.

“Kalian ini kenapa sih, pake gak setuju...” Wajah Savina merengut.
“Savina dengerin gue...” Farhat membenarkan posisi duduknya menghadap Savina.
“Saat Nayla dan Rendy masih musuhan saja Rendy udah ngelarang kita buat kasih tahu Nayla, karena Rendy tahu sebenarnya Nayla itu sayang sama Rendy. Cuma dia gengsi untuk ngungkapin karena sudah terlanjur musuhan. Sebenci-bencinya Nayla sama satu orang, dia pasti akan sedih jika tahu orang yang dibenci sakit.”
“Apalagi sekarang... saat mereka udah baikan... bisa kalian bayangkan seberapa hancurnya hati Nayla saat tahu tentang penyakitnya Rendy. Kalau Nayla hancur otomatis Rendy ikut hancur guys. Sedangkan dokter bilang pikirannya Rendy gak boleh ditekan. Rendy gak boleh stress guys.”
“Coba kita pikir, kalau setiap waktu kita selalu berbuat sesuatu yang buat Rendy senang, buat dia ngerasa nyaman, bukan tidak mungkin peluang untuk Rendy sembuh semakin besar guys. Kalau Rendy sembuh siapa yang senang? Bukan hanya orang tua Rendy, Nayla, kita juga senang kan?”
“Widih... canggih, gak nyangka gue sama lo Hat, sampai segitu jauhnya lo mikir...”
“Gue cuma nerjemahin kata-katanya Rendy... gue belajar berpikir lebih detail itu karena Rendy.”
“Jadi... Rendy aja cara berpikirnya udah segitu bagusnya... jangan kita bikin ulah hanya dengan bekal kasihan sesaat. Pikirkan hal apa yang lebih penting dikedepankan.”

Rencana untuk memberi tahu Nayla soal sakitnya Rendy pun dibatalkan oleh teman-temannya. Farhat, Savina dan Dara lalu beranjak masuk kedalam ruang rawat Rendy untuk menemui mereka.

RENNAY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang