28. Dia suamiku

26 4 0
                                    

Part ini sudah kembali ke awal, saat Nayla sudah bekerja di salah satu lembaga pembinaan sosial.

Selamat membaca!

###

“Ya, itu Rendy Ananta Dika, suamiku...”

Nayla menunjukkan beberapa foto yang terpajang dengan indah pada dinding tempat Nayla bekerja. Tatapan matanya berkaca-kaca. Sabrina lama terdiam. Nyesek banget ceritanya Nayla. Baru saja selesai berbunga-bunga karena akhirnya bisa bersatu dengan Rendy, tapi malah perpisahan yang menunggu mereka di depannya. Kasihan sekali Nayla.

Takdir, sebuah kepastian yang telah Allah tentukan dan tidak bisa kita ketahui. Ya, siapa yang akan menyangka seorang Rendy yang terkenal paling ceria dan tidak mudah sedih, malah mempunyai penyakit yang mematikan itu. Siapa yang menyangka kalau cowok sebaik Rendy akan dipanggil dengan cepat oleh Allah?

Oh, Tuhan, kuatkan hati Nayla untuk menerima kepastian ini.

Sabrina tahu dari cara Nayla bercerita tentang Rendy, Nayla sangat mencintai Rendy.

"Benar-benar... yang namanya takdir.. padahal hatiku udah dari dulu sadar kalau sebenarnya aku itu suka sama Rendy. Hatiku udah bilang kalau Rendy gak sepantasnya jadi musuhku. Tapi, aku malah gak mau mengakuinya. Ya, sejak Rendy hadir di tengah-tengah kehidupanku dan teman-temanku, sebenarnya aku itu udah ngerasa sayang sama Rendy dan gak ingin kehilangan dia. Cuma karena gue gengsi untuk mengakuinya, jadinya ya... aku lanjutin aja sandiwaraku yang terus-terusan musuhan sama Rendy yang padahal aslinya aku gak pengen kita kayak gitu." Ucap Nayla dengan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.

Ketika ekspektasi tak sejalan dengan realita, hm.. semangat untuk tetap melanjutkan hidup seakan lenyap karena merasa tak punya alasan. Kondisi memaksa kita untuk menerima apa pun yang telah Tuhan pastikan. Memang sulit. Sulit sekali untuk melakukannya. Terkadang ketika hati berusaha untuk ikhlash, sabar dan tawakkal, pikiran yang menolak. Selalu saja ada keluhan yang mewarnai.

"Seandainya sejak dulu aku mau mengalah dengan nafsuku, mungkin hubungan antara aku dan Rendy sudah terjalin dengan sangat erat. Tapi, penyesalan memang tidak akan berada di awal. Semuanya sudah terlanjur menjadi seperti saat ini. Dan yang bisa aku lakukan, selalu mendoakan yang terbaik untuk dia."

Sabrina menepuk-nepuk pundak Nayla, lembut. Berada di posisi Nayla memang sangat menyakitkan.

"Makanya, aku terus-terusan bersyukur ketika bertemu Kania yang juga mengalami nasib yang sama denganku, Na. Aku bersyukur tidak melewati fase yang sama dengan dia. Dan aku bersyukur, karena dengan kepergian Rendy, aku bisa membantu Kania untuk melewati masa seperti ini. Seandainya Rendy masih ada, dan aku bekerja di sini, mungkin Kania tidak sembuh-sembuh karena aku tidak tahu dengan apa yang dia rasakan."

Sabrina memeluk erat tubuh Nayla. Dia tahu, sekuat-kuatnya perempuan itu menahan sesak di dadanya ketika mengingat suaminya yang sudah meninggal, dia butuh sandaran. Dia butuh teman yang bisa meleburkan kesedihannya.

"Yang sabar ya, Nay! Maaf, aku malah kembali mengingatkanmu pada Rendy." Nayla hanya mengangguk.

“Jika ada seseorang yang ingin mengganti posisi Rendy dalam hidup kamu, apa kamu akan mencintainya sama seperti Rendy?”

Nayla kaget mendengar pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari Sabrina. Nayla terdiam, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan itu sangat sulit untuk dijawab oleh Nayla.

“Ya kan itung-itung usia pernikahan kamu dan Rendy udah lebih delapan tahun Nay. Aku rasa kamu masih pantas untuk...”
“Aku belum siap Na, aku nggak bisa melupakan Rendy.”
“Nay, aku nggak maksa kamu untuk melupakan Rendy. Walau bagaimana pun dia merupakan bagian dari hidup kamu. Aku hanya memberi saran. Aku rasa kamu butuh orang yang benar-benar bisa mengerti kamu. Kamu gak mungkin kuat ngejalanin hidup sendirian. Sekuat-kuatnya perempuan dia pasti butuh sandaran suatu saat Nay....”
“Tapi nggak denganku Sabrina. Sejak aku menikah dengan Rendy, cinta yang aku miliki sepenuhnya milik Rendy, bahkan meski Rendy udah meninggal bertahun-tahun yang lalu, aku tidak bisa membuka hatiku untuk orang lain.”
“Aku bisa hidup sendiri, aku bisa...”
“Tapi Nayla...”
“Udah cukup Sabrina...”

Nayla menenggelamkan wajahnya di balik dua telapak tangannya. Air matanya meleleh. Nayla sedih karena merasa Sabrina terlalu memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan Nayla yang sudah mulai kembali kalut.

“Tolong jangan paksa aku... Rendy... Rendy... Ren,”

Nayla terus menangis dengan menyebut-nyebut nama Rendy. Sabrina kembali memeluk Nayla untuk membuatnya tenang dan meminta maaf atas sikapnya yang terkesan memaksa.

RENNAY (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang