“Ren, lo yakin ini jalannya?” Nayla melirik ke arah Rendy, yang juga masih terdiam, menatap plang jalan di sisi kiri mobilnya.
“Yakin,” jawab Rendy kemudian.
“Kalau salah gimana?” Nayla masih ragu-ragu.
“Udah ayo jalan. Pasti ketemu, kok.”Hari ini Nayla dan Rendy berniat pergi ke salah satu toko buku di daerah selatan kota Surabaya. Mereka bela-belain pergi jauh-jauh karena buku-buku yang mereka cari sangat dibutuhkan untuk kegiatan OSIS yang akan dilangsungkan pekan depan. Dan buku-buku itu tidak ada di perpustakaan sekolah. Nayla dan Rendy juga sudah berkeliling di toko-toko buku terdekat, dan kata para penjaga toko itu hanya di toko buku Pelita Hati saja yang ada.
Rendy memacu kembali mobilnya, setelah beberapa waktu berunding dengan Nayla tadi.
Sampai di tengah jalan mobil yang Rendy tumpangi mogok. Terpaksa Rendy dan Nayla harus jalan kaki. Padahal jarak ke toko buku itu masih sekitar satu kilo lebih. Sepertinya di sana jarang ada taksi atau angkot yang lewat. Jalan yang mereka tempuh bukan jalan raya. Masih jalan yang berbentuk tumpukan pasir yang pasti ada naik turunnya. Rendy yang memang mempunyai kelainan jantung, tidak boleh terlalu capai. Akhirnya karena Rendy memaksa, Rendy pun jatuh pingsan.
“Ren, jangan bercanda deh, ah, kita ada di wilayah orang yang gak kita kenal sama sekali Ren.”
Nayla masih menyangka Rendy berpura-pura karena sebelumnya Rendy sempat membuatnya panik gara-gara berpura-pura pingsan. Melihat Rendy yang tidak kunjung bangkit Nayla menurunkan lututnya dan mengecek keadaan Rendy.
“Ya ampun, Rendy beneran pingsan. Aduh, gimana ini?” tanyanya panik.
Nayla kebingungan untuk mencari bantuan. Mereka sudah berada jauh dari lokasi sekolah mereka. Otomatis mereka tidak mengenal salah seorang pun dari masyarakat di sana. Sekian lama diam dan menunggu Rendy sadar, ada seorang lelaki paruh baya yang menghampirinya dan membantu Nayla membawa Rendy ke puskesmas.
Puskesmasnya jauh, Guys. Bayangkan saja seberapa capainya Nayla, yang sejak beberapa jam tadi berjalan untuk pergi ke toko buku itu, malah di tengah jalan Rendy pake acara pingsan segala. Nayla menggerutu dalam hatinya, kesal karena harus berputar arah untuk menempuh puskesmas itu. Kalau bukan karena tugas sekolah mana mau Nayla menjalaninya. Bersama Rendy, lagi.
***
Sudah hampir setengah hari Rendy tidak sadar-sadar juga. Mana hari sudah menjelang sore lagi. Nayla khawatir ibunya mencarinya. Nayla membuka tas dan mencari hpnya. Oh, Tuhan, hp Nayla ketinggalan di rumah. Nayla tidak hafal nomer Farhat, Savina dan Dara. Kalaupun dia harus menelepon ke rumahnya pasti tidak akan ada jawaban. Ibu Minah 'kan masih jualan di pasar. Nayla membuka ransel Rendy untuk mencari hpnya. Begitu hpnya ketemu ternyata low bat. Yah, benar-benar hari yang sial untuk Nayla. Terpaksa dia harus menunggu sampai Rendy sadar baru dia bisa pulang.
Menjelang senja Rendy sadar. Begitu membuka mata ternyata Rendy mendapati Nayla sedang tidur dengan kepala yang diletakkan di brangkar Rendy dekat dengan tangan kanan Rendy. Rendy sempat kaget, dia sempat bingung dia ada di mana, tetapi untungnya dia segera ingat kalau dia pingsan saat perjalanan menuju toko buku Pelita Hati. Rendy tidak sampai hati untuk membangunkan Nayla yang tertidur pulas. Sepertinya dia kelelahan sekali. Rendy memilih untuk menunggu Nayla bangun dahulu, baru dia akan pulang.
“Ren, udah sadar lo?” Rendy mengangguk.
“Ya udah gue pulang ya.”Nayla bangkit ari tempat duduknya. Ia menyandangkan kembali ranselnya di punggungnya, bersiap melangkah.
“Nay, Nay, tunggu! Main pulang-pulang aja. Terus gue mau ditinggal di sini gitu, enak banget hidup lo.”
Nayla memutar bola matanya malas mendengar teriakan Rendy.
“Rendy, lo 'kan udah sadar, jadi, lo bisa pulang sendiri, 'kan?” ucap Nayla, malas-malasan.
“Resek banget, sih, lo, masak temannya baru sadar udah suruh pulang sendiri. Kalau pingsan lagi gimana?”
“Biarin. Lagian, nih, ya ... kalau gak ada gue tadi yang nolongin lo, gak tahu deh nasib lo kayak apa.”Nayla beranjak keluar ruangan meninggalkan Rendy. Rendy menarik jarum infus yang ada di tangannya dan mengambil ranselnya dan menyusul Nayla.
“Lo itu, ya, cepet banget ngilangnya.”
Rendy berhasil menyejajarkan langkah dengan Nayla.
“Apaan, sih, Ren. Gue barusan urus administrasi. Lagian lo keburuan banget, sih, enggak bisa nunggu sebentar, kek, di dalam?” kesal Nayla.
“Yah, lagian lo kok enggak bilang sama gue. Kirain gue beneran ditinggal di sini," kata Rendy, sambil menggaruk tengkuknya.
“Cie ... kayaknya takut banget nih, gak bisa pisah sama gue ya? Cie ...”
“Apaan, sih, Nay, jangan-jangan lo itu yang gak mau pisah dari gue, sampai-sampai rela nungguin gue yang gak sadarkan diri sampai sekarang,” balas Rendy.Paling bisa memutar kata-kata. Nayla mendengkus kesal.
“Rendy Ananta Dika ... gue itu cuma gak mau disalahkan sama Pak Rumi kalau gue pulang sendirian dan ngebiarin lo ada apa-apa,” elak Nayla.
"Wah, ada kejadian bersejarah hari ini. Harus gue lestarikan, nih," kata Rendy tiba-tiba. Nayla mengernyit, mendengar ucapan Rendy.
"Sejak kapan lo tahu nama panjang gue? Stalking akun sosmed gue, ya?" Nayla bungkam dalam beberapa saat. Dia tidak tahu harus memberi respons apa. Yang dikatakab Rendy benar. Nayla tahu nama panjangnya Rendy dari akun Instagram dan Facebook yang diikutinya.
Rendy malah tersenyum dengan alasan tidak jelas, melihat tingkah Nayla. Sedangkan Nayla mati-matian melawan rasa canggungnyan, karena ketahuan stalking akun Rendy.
“Rendy awas!”
Hampir saja Rendy tertimpa bongkahan atap kayu puskesmas yang udah lapuk itu. Untungnya Nayla langsung menarik tangan Rendy menjauh dari arahnya.
Setelah urusan administrasi puskesmas Rendy usai, Nayla dan Rendy mencari bantuan warga sekitar untuk mengantarnya ke toko buku Pelita Hati itu. Mereka tidak mungkin balik tanpa membawa buku itu. Pak Rumi akan kembali menyuruh mereka untuk kembali ke toko itu, jika mereka memaksa pulang.
Beberapa waktu kemudian, Rendy dan Nayla sudah duduk di atas kursi angkutan umum yang ditunjukkan oleh warga. Beruntungnya toko buku itu buka 24 jam.
Setelah mendapatkan buku-buku itu, Nayla dan Rendy kembali dengan ikut angkutan umum itu, sementara dia biarkan dulu mobilnya yang mogok. Rendy berniat untuk menelepon orang bengkel kenalannya untuk menjemputnya dan memperbaikinya.
“Nayla, gue ... makasih ya ... lo udah mau nolongin gue. Kalau enggak ada lo yang nolongin gue, gue gak tahu nasib gue kayak gimana. Makasih, ya?”
“Ternyata, cowok senyebelin lo bisa bilang makasih juga, ya?”
“Kirain. Lo-nya aja yang enggak sadar kalau gue itu orangnya baik, enggak songong.”NAYLA POV
Tanpa gue sadari, gue sudah tersenyum-senyum sendiri ketika ingat kejadian tadi. Kalau dilihat dari pandangan matanya Rendy, sepertinya Rendy memang tulus mengucapkan kata-kata terima kasih itu sama gue. Gue jadi teringat kata-kata teman gue saat mereka berdebat soal Rendy di parkiran. Kalau dipikir-pikir memang apa salah Rendy sampai-sampai gue sebegitu bencinya terhadap Rendy. Padahal, nih, ya, Rendy enggak pernah, tuh, bentak-bentak gue. Cuma sekali itu, pas di tempat perkemahan. Gue harus mengakui kalau Rendy juga care sama gue, ya meskipun care-nya dia itu gak ditampakkan.
“Ih, Nayla, apaan, sih. Kok, malah inget-inget Rendy. Enggak, masak lo suka sama Rendy, sih? Oh, Tuhan, gue enggak lagi suka sama Rendy, 'kan?"
Gue memukul-mukul kecil pelipis gue. Bisa-bisanya gue berpikir ke arah sana. Bisa-bisa gue dibuli sama teman-teman gue kalau mereka tahu gue kayak gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENNAY (Tamat)
Chick-LitKisah tentang perjalanan hidup Nayla Syarifah, yang diawali dengan pertemuannya dengan Rendy Ananta Dika, dan Deni Arya Candra.