Jika boleh memilih lebih baik dicintai daripada mencintai.
Namun apa daya, takdir memang mengharuskan untuk mencintai
Bukan mencintai tapi sebuah kewajiban atas dasar sebuah tali pernikahan, walau tali itu tidak mengikat sebuah cintaApalah cinta, bila tak saling cinta dan mencintai
Sial!!!
Belum pernah ia diacuhkan begitu saja oleh wanita, apalagi seorang wanita ndeso, kampung dan culun macam Wulan.
Apa pesona dan daya tariknya telah pudar?
Selama ini ia seorang Flamboyan, Casanova yang selalu dikejar gadis- gadis, tapi saat ini hemmsss...istri sendiri saja malas melirik dan enggan di ajak bicara, malah jutek terhadapnya."Aku suamimu, hormati aku. " Celetuk Matteo membuntuti Wulan. Kemana gadis itu melangkah Teo mengikuti di belakangnya.
Hormat!
Ia minta dihormati, mengaku suami.
Padahal ia sendiri tak mau menghormati dan menghargai sang istri, minta diakui sebagai suami, padahal ia tak mau mengakui pernikahan dan keberadaan sang istri.Wulan menoleh sekilas, kemudian ia kembali sibuk mengangkati pakaian dari mesin cuci.
"Aku bicara denganmu. Punya telinga untuk mendengar dan punya mulut untuk bicara 'kan? " geram Teo kesal.
"Ada apa? Bayaranmu lebih dari cukup. Malah sangat banyak untuk membayar gadis murahan seperti aku, tapi maaf aku tidak sempat memungutinya," kata Wulan melihat ke arah uang berserakan di lantai rumah.
Dia sangat kesal, sakit hati dan benci dilecehkan dan direndahkan Matteo dengan uang.
Ia kira ia gadis matre, minta bayaran setelah melayani suami.Kedua tangan Matteo gemetar. Giginya saling bertautan, ia mengeram, sepasang matanya menatap tajam sang istri.
"Kau mulai berani. Ingat posisimu, engkau cuman istri bayaran. Sekedar di atas kertas, jangan sok jual mahal."
"Aku tahu aku cuman gundik," oceh Wulan mengangkat ember berisi pakaian.
Ia membawa ke samping rumah dan menjemurnya."Pelacurku, ngerti!" tegas Teo menendang tembok.
Matteo sangat kesal diperlakukan Wulan sedingin ini, merasa diacuhkan sang istri. Pria itu bergegas menjambangi meja makan. Rupanya di sana telah terhidang dan berjejer rapi makanan. Wulan telah menyiapkan hidangan di meja makan untuk sarapan.
Matteo langsung menyantap hidangan yang dari tadi menggoda perut dan mulutnya untuk dimakan sambil sesekali mengupat dan mengatai Wulan.
"Masakan dia enak juga. Tak ada makanan seenak ini," batin Matteo, sementara mulutnya sibuk mengunyah makanan. "Dia menggunakan bumbu apa? Bisa memasak seenak ini."
Seperti biasanya, Matteo makan sendiri tanpa mau menunggui sang istri untuk sekedar makan bersama. Dia tak peduli, masa bodoh, istrinya mau makan sekarang, nanti atau tidak makan.
Wulan juga enggan makan bersama Matteo, sengaja ia menghindar dari pria itu.
Ia malas, infeel dengan Matteo.
Muak melihat muka tampan yang dipuja dan dikejar gadis- gadis, tapi hanya sebatas kedok.
Ia juga belum lapar, tidak ada nafsu untuk makan, meski dari kemarin siang ia belum makan.
Biar saja ia jatuh sakit, atau mati sekalian, toh nggak ada yang peduli. Ia sendiri membenci tubuhnya yang kian kurus, pucat tak terawat, seperti mayat hidup.Usai menjemur pakaian ia duduk di kursi taman.
Sepasang matanya meneteskan air mata.
Kepalanya menerawang ke kejadian beberapa waktu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Aku Mencintaimu.
RomanceKetika aku mencintaimu. Permis. Aku tidak bisa menolak perjodohan dengan wanita yang tak pernah ku kenal dan belum pernah bertemu, sekalipun di mimpi. Andai saja kedua orangtua ku tidak memaksa, serta mereka mau menerima kekasih ku, Gabrielle. Tentu...