Pikiran Wulan berkecamuk tak menentu, resah gelisah memenuhi hati terdalamnya. Sang suami dalam satu pesawat, perjalanan bersama menuju Jakarta dengan sekertaris cantik. Apalagi mengingat kata sinis Viona, sebelum keberangkatan tadi, gadis itu seolah menoreh teror. Setelah fakta mereka bersaudara dan mengenal ibu kandung Wulan, Fiona menjauhi Wulan, menyalakan benderang api permusuhan. Sungguh ia takut, seandainya Matteo dijadikan alat pemulus keinginan jahat gadis itu.
Dikala sendiri Wulan menjadi pemurung, raut seri bahagianya tertutup mendung suram, ia menjadi pendiam, banyak melamun dan tanpa setahu orang disekitar rumah, ia sering menitikkan airmata.
"Nak, bisa menemani ibu belanja," Fatma membuyarkan lamunan Wulan, perempuan paruh baya itu menyelinap masuk dan duduk disebelah Wulan. Naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi, ia mengerti, menantunya itu sedang sedih, tentu memikirkan sang suami. Mungkin dengan mengajak keluar rumah, bisa mengurangi rasa sepi dan sedih sang menantu.
"Iya, ma." Wulan merajuk kaget serambi buru-buru menghapus airmata.
"Kamu menangis, nak?" Fatma memperhatikan wajah sang menantu.
"Ehm, kelilipan, ma. Tadi habis bersih-bersih meja kerja mas Teo." Wulan memaksa menyunggingkan senyum, walau faktanya ia sangat sedih. "Oya, ayo, ma, Wulan temani belanja." Wulan segera mengalihkan pembicaraan, ia tak mau ibu mertua menjadi ikut memikirkan dan khawatir dengan kondisi dirinya.
"Jangan bohong dengan mama. Kamu memendam sesuatu?"
"Tidak, ma." Wulan menggeleng.
"Kamu sudah mama anggap seperti putri sendiri, ceritalah jika ada masalah, tak baik dipendam sendiri. Bukankah fungsi keluarga untuk saling berbagi, entah susah maupun senang. "
"Ma, Wulan takut." Wulan langsung memeluk sang mertua. "Gabe sering menelepon mas Teo, dan mbak Viona, dia..."
"Kenapa dengan Viona?"
"Dia membenciku. Dia..." Wulan menceritakan jatidiri Viona, Fatma melongoh, nampak kaget mengetahui fakta yang ada.
"Jadi kalian kakak beradik, tapi..."
"Dia sangat benci dengan ibu dan juga aku. Ma, Wulan khawatir, mbak Viona akan memperalat mas Teo untuk membalas dendam kepada kami."
"Astagfirullah...!!!" Fatma menghela nafas. "Mama paham, kekhawatiranmu. Teo, takkan berpaling darimu. Percayalah, ia sangat mencintaimu."
"Aku takut kehilangan dia, ma, " Wulan langsung memeluk mertuanya, ia butuh tempat bersandar dalam kegundahan.
"Jangan berpikiran macam- macam. Ingat kondisimu, ada anakmu, kau harus kuat buat dia. Tak boleh cengeng dan larut dalam kesedihan." Fatma menasehati. Ia sadar betul, menantunya masih sangat muda. Begitu rapuh menghadapi persoalan hidup. Dia yang lebih tua, meski mengarahkan, menjadi panutan guru, serta menjadikan bahu untuk bersandar dan memberi kenyamanan.
Gundah hati perlahan terobati, sedikit lebih ringan, Wulan harus lebih berpikir positif, enyahkan segala pikiran semrawut, tetap percayakan cinta kepada tulus hati sang suami."Sudah jangan menangis. Ayo temani mama belanja!" Fatma mengusap pipi Wulan. "Mama tunggu di bawah, ya." Wanita paruh baya itu beranjak.
Selepas Fatma keluar, Wulan menyiapkan diri, berdandan sederhana sebentar.Duduk di depan cermin, menatap hp yang tergeletak di meja rias. Dia mengharap barang itu berbunyi, Matteo telepon ataupun berkirim pesan. Sedari pergi tadi, Matteo belum menghubunginya, Wulan ingin tahu kabar sang suami. Setiap dihubungipun tidak tersambung, nomornya selalu nonaktif. Entah Matteo terlalu sibuk, mungkin ada rapat penting, makanya ia tak menghubungi sang istri.
****
Benah Wulan makin berkecamuk, seharusnya ia bahagia diajak sang mertua pergi ke mal. Menikmati hari dengan berbelanja aneka macam barang, tapi ia hanya berdiam, tidak ada semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Aku Mencintaimu.
Roman d'amourKetika aku mencintaimu. Permis. Aku tidak bisa menolak perjodohan dengan wanita yang tak pernah ku kenal dan belum pernah bertemu, sekalipun di mimpi. Andai saja kedua orangtua ku tidak memaksa, serta mereka mau menerima kekasih ku, Gabrielle. Tentu...