Chapter 23: Benci tapi cinta?

4.2K 152 9
                                    

Seisi penghuni kediaman Hadibarata di Yogya langsung kaget, baik mbok Inah si pelayan setia keluarga Hadibrata, pak Diman si sopir pribadi, dan pak Santoso si tukang kebun yang juga  merangkap satpam. Pertama mereka dibuat terkejut karena kedatangan Matteo yang dalam keadaan kurang baik, wajah babak belur penuh darah dan pakaian yang dikenakan kusut penuh noda.
Kedua, pak Hadibrata berserta sang istri yang pulang dengan membawa wanita cantik.
Mereka cukup asing dengan gadis muda itu, mereka belum mengenal wanita yang bersama tuan dan nyonya mereka dan baru kali mereka bertemu gadis cantik itu.

"Kalian tahu siapa wanita ini?" Fatma memperhatikan ketiganya yang sibuk membantu mengeluarkan barang dari dalam mobil sambil mencuri-curi pandang ke arah Wulan.

"Eh, iya Bu." Ketiganya sontak tertawa kecil.

"Wulan, kenalkan mereka bi Inah, pak Diman dan pak Santoso. Mereka pekerja disini, jika kamu memerlukan sesuatu bisa minta bantuan mereka," kata pak Hadibrata menunjuk masing-masing nama yang kali ini berjejer rapi.

"Dia istri Matteo," sambung Fatma, membuat ketiganya membelalak.

"Cantik banget, Bu," sahut mereka bareng.

"Wulan pak, Bu," sapa Wulan dengan senyum manisnya tak lupa dengan sopan menyalami mereka secara bergantian.

"Perlu sesuatu kami siap melayani, nona," sahut ketiganya sambil memberi hormat seperti upacara bendera.

Ketiga pekerja itu memang lucu, mereka mengabdi cukup lama di keluarga Hadibrata, bahkan mereka sudah seperti keluarga sendiri bagi keluarga Hadibrata, anak mereka disekolahkan tinggi  secara gratis.

"Ya udah kalian kembali bekerja," kata Fatma menahan tawa. "Bi Inah, bantu non Wulan ke kamar."

"Siap Bu," ketiganya bubar sambil membantu memasukkan barang tuan dan nyonyanya.

"Nak, bersihkan badanmu. Nanti mama tunggu di meja makan. Kita makan malam bersama!" perintah Fatma berhenti didepan kamar.

"Iya, ma," sahut Wulan mengikuti langkah bi Inah ke lantai dua.

"Silahkan nona. Semua keperluan sudah disiapkan, pakaian dan peralatan mandi sudah tersedia. Bibi sampai disini ya, bibi harus ke dapur." Bi Inah tidak berani membuka maupun masuk kamar karena Matteo tadi telah berpesan agar tidak seorangpun boleh masuk kamar terkecuali istrinya ini.

"Oya, makasih bi atas bantuannya," kata Wulan memandang si bibi, begitu bibi turun tangga dan kembali ke dapur.
Wulan membuka pintu.
Ia melangkah lamban masuk ke dalam, tengak-tengok sambil mengamati ruangan luas yang beraroma wangi dan bersih, serta rapi.
Matanya terhenti, tertuju pada foto besar yang menempel di dinding.
Nafasnya memburu naik turun melihat gambar pernikahannya dengan Matteo.
Ia kembali melangkah ke nakas dekat jendela, berhenti disana dan sepasang matanya menemukan foto pernikahanya dengan Matteo dengan kostum yang berbeda.
Ia meraih bingkai itu lalu, menurunkan badannya diatas ranjang.

"Pernikahan itu suci, tapi aku belum sanggup menerima maafmu setelah semua yang terjadi." Tetes airmata Wulan jatuh, hingga menetes di atas bingkai.

Wulan duduk sambil memeluk bingkai itu.

"Dia sudah tiba," bisik Matteo memperhatikan istrinya dari dalam kamar mandi. "Aku juga ingin kau peluk seperti itu, sayang."

Wulan kembali menaruh bingkai foto ke tempatnya, ia beralih menuju lemari dan mengambil pakaian yang telah disediakan oleh mama Hadibrata. Rupanya semua pakaian di lemari tersedia sesuai ukuran badannya, ia tinggal memilih warna maupun corak pakaian, lalu masuk ke kamar mandi.

"Dia berjalan kemari, bagaimana ini?" Matteo menutup pintu kamar mandi dan menyebur ke bathup. "Dia istriku, bodoh ah. Kalo marah ya tinggal diam."
Matteo menengelamkan badan di bathup, karena tertutup busa, lelaki itu tak tampak.

Ketika Aku Mencintaimu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang