Mama bolak- balik kamar Matteo, naik turun tangga sampai kaki pegel. Ini untuk kelima kalinya ia masuk kamar, lagi-lagi ia hanya menggeleng. Beberapa waktu lalu masih mendapati Wulan sibuk membelai rambut sang suami, tapi kini, gadis itu ikut tertidur sambil bersandaran di kepala ranjang. Fatma sungguh tak tega membangunkan dua orang tertidur pulas, meski dalam keadaan cara tidur yang tak benar. Kepala Matteo bersandaran dipangkuan sang istri, badannya melintang ditengah ranjang dengan kaki meringkuk, sementara sang istri dalam posisi duduk.
Wajah mereka sama-sama terlihat lelah, sungguh tak tega sebagai seorang ibu, menganggu ketenangan keduanya.
Fatma kembali turun kebawah, ia lebih baik menuju dapur, membuatkan mereka roti bakar dan susu hangat. Ibu berinisiatif membawakan makanan itu ke kamar, menaruh di meja samping ranjang, sewaktu-waktu mereka bangun, tinggal makan dan tak perlu turun ke bawah.
Malam semakin merangkak, Fatma tak kuasa lagi menahan kantuk yang mendera. Ia mengambil remote dan menekan tombol off, melihat ke arah kamar Matteo, tetap tertutup rapat. Pertanda anak dan menantunya masih tidur, sepertinya tidak turun, mengingat terlalu larut malam.
Fatma bangkit, beberapa kali menguap dan akhirnya menyerah pada kantuk, ia menuju kamar."Mereka tak turun juga kan?" tanya lelaki berkaca mata sambil berbaring, menarik selimut hingga menutupi dada. "Teo, paling menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Kurasa ia bergerak cepat menangani semua problem perusahaan." Hadibrata membuka kacamata dan menaruh di nakas samping.
"Putramu lelah, ia sibuk dan tak sempat turun ke bawah," kata Fatma mendudukkan badan di atas ranjang, lalu mengambil posisi berbaring.
"Papa muak dengan cara kerja ia belakangan ini, sangat buruk, kurang profesional. Mama tahu, sekertarisnya harus mengalami kecelakaan, akibat ketidak profesional dia. Masuk rumah sakit dan dia harus absen, padahal sekertaris Teo, sangat berpengaruh dalam bisnis," kata Hadibrata penuh kekesalan, ia sama sekali tidak tahu jika Viona mengantar berkas pekerjaan ke rumah Wulan yang jaraknya puluhan kilometer. "Akibat ulah anakmu, gadis itu meski cuti 2 Minggu."
"Teo, tidak memberitahu hal itu," Fatma memiringkan badan menghadap sang suami. Ia kaget, sama sekali tidak tahu perihal Viona kecelakaan.
"Keburukan dia mana mama tahu, dia terlalu pintar menyimpan. Dimata mama, putramu itu, anak baik-baik. Nyatanya, mengurus perusahaan juga nggak becus. Papa pusing, belum si Sadewa, dia sama buruknya dengan si kakak, perusahaan di Jakarta morat- Marit. Mama tahu kerjaan Sadewa hanya clubbing, minum-minum dengan sekertaris rival bisnis, padahal dia harusnya tahu, wanita-wanita itu suruhan untuk mencari informasi ini itu."
Fatma mengelus dada. Sesak sekali, ketika anak-anak yang ia didik, ia asuh, ia susui selama 2 tahun, berperingai buruk. Matteo mulai menjadi lelaki baik, meninggalkan kehidupan liarnya dan begitu setia dengan sang istri, muncul lagi si Sadewa, anak bungsu. Perilakunya lebih parah dari si kakak, susah diatur, keras kepala, hobi gonta-ganti cewek dan penggemar germelapnya dunia malam.
"Sabar, pa. Maafkan mama telah gagal mendidik mereka." Wanita tua yang masih terlihat cantik itu menepuk pundak sang suami.
"Mama tak pernah salah mendidik mereka, cuman mereka yang susah diatur," celetuk Hadibrata mencubit pipi sang istri. "Semakin malam tidur, yuk! Mama mesti banyak istirahat." Hadibrata mematikan lampu disampingnya.
"Malam, pa, tidurlah. Serahkan ke Matteo, percayakan segala masalah ke dia, mama yakin ia bisa menyelesaikannya," kata Fatma mengelus puncak kepala sang suami.
"Punya 2 anak lelaki, tapi susah diatur," celetuk Hadibrata memijit pelipis. "Malam, ma, selamat tidur."
"Malam, pa, semoga mimpi indah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Aku Mencintaimu.
RomanceKetika aku mencintaimu. Permis. Aku tidak bisa menolak perjodohan dengan wanita yang tak pernah ku kenal dan belum pernah bertemu, sekalipun di mimpi. Andai saja kedua orangtua ku tidak memaksa, serta mereka mau menerima kekasih ku, Gabrielle. Tentu...