Chapter 33: Kenyataan.

2.9K 97 8
                                    

Sekilas mirip, tapi tak mungkin? Matteo memandang ke arah perempuan yang berbaring di brangkar dan istrinya di sebelah kanan, duduk sambil menyuapi si sakit. Persamaan golongan darah dari dua perempuan di depan mata ia itu, membuat hatinya resah, ada terbersit tanda tanya, mengapa mereka bisa memiliki golongan darah sama, padahal golongan darah AB+ sangatlah langka, apa mereka memiliki hubungan, tapi itu mustahil.
Sekilas Teo mengamati wajah yang sama-sama cantik. Tidak ada kemiripan dari segi fisik, cuman bentuk hidung yang sama mancung dan kulit putih serupa.

"Mas kenapa?" tanya Wulan menghentikan segala pikiran Matteo. "Mas, perhatikan kalian kok hampir mirip."
Lelaki itu mengaruk rambut.

"Mirip?" Viona memandang wajah Wulan. "Istri pak Teo sangat cantik, masah dibandingkan dengan wajah jelek saya."

"Mas, memikirkan sesuatu?" selidik Wulan, ia mengerti gelagat Teo.

"Tidak. Cuman kepikiran golongan darah kalian berdua kok bisa sama dengan Bu Tina, padahal kalian bukan saudara."

Viona termenung, dalam kondisi lemah tadi, ia melihat perempuan berbaring di brangkar sebelah dengan selang transfusi terhubung dengan lengannya. Wanita itu, ia selalu mengingat wajah dan takkan pernah lenyap dari memori, meski ia berusaha melupakan. Terlalu pahit, sangat menyakitkan hingga wajah itu meninggalkan kenangan tak terlupa. Jika dulu ia menoreh derita lalu kini ia datang memberi nyawa, Viona tidak habis berpikir, kenapa meski wanita itu yang menolong bukan lainnya? Kenapa meski datang ketika ia sekuat tenaga untuk melupakan? Batin Viona berkecamuk, antara benci, muak, dendam dan syukur terima kasih karena ia diberi kehidupan. Ada dilema dengan sosok Tina tentang di masa lalu dan di masa kini.

"Wanita bernama Kartina itu kemana? Dia yang mendonorkan darah untukku bukan?" Sekelebat tanya keluar dari bibir mungil Viona, walau tanpa make up masih merah merekah.
Dua orang dihadapan Viona langsung terperajat, Kartina, Viona menyebut lengkap nama wanita itu, padahal Teo sendiri , sang menantu Tina tak tahu, bagaimana gadis ini bisa tahu, apa mereka sebelumnya saling mengenal? Teo makin penasaran. Sebenarnya ada apa antara Viona, Kartina dan Wulan, apa mereka memiliki hubungan persaudaraan?

"Ibu pulang, mbak. Dia ada sedikit kesibukan," jawab Wulan, sebenarnya tak ada, palingan sang ibu sibuk kumpul-kumpul dengan teman sosialitanya.

"Kartina ibumu?" tanya Viona menatap intens Wulan.
Gadis itu mengangguk.

Mata Viona memejam, kilas balik masalalunya kembali muncul. Setitik bulir airmata ia jatuh membasahi pipi, berarti gadis cantik baik di depan ia? Tetiba Viona menggeleng, tatapan matanya berubah sendu.

"Dimana ayahmu?" celetuk Viona meninggi, ada nada emosi dan marah. Masalalu lebih menguasai pikiran, apalagi mengetahui ia satu ruangan dengan putri dari segala kepahitan hidupnya.

Wulan tak kalah sedih, ia menggeleng, karena ia sendiri juga tidak mengetahui siapa ayah kandungnya sendiri.

"Semenjak kecil aku tak tahu dimana ayahku," lirih Wulan menjawab dengan mata berkaca-kaca.
Satu hal yang membuat Wulan akan menitik airmata, apabila ada orang membicarakan siapa ayahnya. Jujur ia sangat sedih, ia juga ingin mengetahui ayah kandungnya, mengenal walau cuman sebentar. "Dari dulu, kami hanya hidup berdua."

"Siapa nama ayahmu?" pertanyaan Viona hanya dijawab gelengan kepala, karena Wulan juga tak tahu. "Umurmu berapa tahun?" Viona makin meneliti, saking penasaran.

"18 tahun."

Wajah Viona seketika sepucat hantu, keningnya berkeringat dan matanya mendelik. Bagai disambar petir di siang hari bolong, pernyataan Wulan semakin meyakinkan bahwa gadis itu dan ia memiliki hubungan.

Matteo hanya berdiam, menerka- nerka reflek perubahan ekspresi Viona setelah mendengar suara Wulan.

"Mbak Viona kenapa? Apa ada yang sakit?" Wulan tidak mengerti kenapa wajah Viona berubah pucat. "Aku panggilkan dokter."

Ketika Aku Mencintaimu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang