chapter 33: Setetes, sedarah.

3.1K 93 3
                                    

Sekitar satu jam Viona berada di rumah istri sang bos, begitu pekerjaan selesai ia berpamit kembali ke kantor.
Matteo mengantar hingga ke perkebunan, tempat dimana mobil ia kemarin harus terhenti disana.

"Mas Teo lebih memilih dia, bahkan mengantarnya," sosok dibalik pintu menatap nanar mobil putih yang melaju perlahan meninggalkan rumah. Airmata Wulan jatuh bergulir, bagaimana ia tidak sedih, Matteo pergi mengantar perempuan itu, tanpa sepatah kata pamit ke sang istri. Dia dihiraukan demi sekertaris cantik itu.

"Hiksss..." Wulan berlari ke kamar, menjatuhkan badan ke atas ranjang. Dia tumpahkan segala rasa kesal, cemburu dan sakit hati disana.

Matteo tidak sengaja melupakan Wulan, ia hanya memburu waktu, karena Viona mendapatkan panggilan telepon dari kantor, ada sedikit pekerjaannya disana yang harus diselesaikan gadis itu.

"Aku harus kembali. Berhati-hatilah, jalan licin dan sangat buruk," kata Teo ke sang sopir.

"Terimakasih, pak, telah mengantar sampai kemari," balas si sopir, menundukkan bahu, sebagai penghormatan kepada atasan.

"Kami permisi, pak!" pamit Viona dengan senyum manis, ia masuk ke dalam mobil.

"Terimakasih telah membantu saya."

"Sama-sama, pak," sahut pak Diman, mulai menyalakan mobil.
Usai mengantar mereka, Matteo kembali. Ia teringat sang istri, sedari tadi ia tidak melihat sang istri, bahkan ia terkesan mengacuhkan lantaran kesibukan dengan beberapa pekerjaan.

Dimana dia? Setiba di rumah ia hanya mendapatkan ruangan sepi.

"Sudah jangan menangis, kenapa meski sedih, toh suamimu telah banyak memberikan harta untukmu? Buang rasa cemburu mu yang terpenting kau bisa hidup enak," suara Tina semakin membuat hati Wulan tertusuk, seorang ibu harusnya memberi nasehat baik-baik, ini seakan menyuruh ia begitu masa bodoh dengan keadaan. Wulan bukan penggila harta, ia mencintai Matteo, bukan hartanya, ia tak mau hati pria itu terbagi.

"Bu, aku mencintai dia. Sakit hatiku melihat dia begitu dekat dengan sekertarisnya, bahkan karena keberadaan Viona itu, mas Teo begitu tak peduli, ia nampak acuh. Demi perempuan itu pergi saja ia tak pamit."

Matteo berdiri diambang pintu, ia terdiam mendengarkan pembicaraan ibu anak itu. Ia sendiri bingung, harus bagaimana menghadapi kekesalan Wulan? Akan sedikit susah melunakkan hati dan memberi pengertian ke sang istri yang terlanjur cemburu, apalagi ditambah racun mulut dari Tina yang makin membuat Wulan terbakar.

"Lelaki selalu pandai menutupi kesalahannya. Tapi tak usah kau permasalahankan, apalah itu cinta? Kau hanya akan tersiksa bila memikirkan cinta."

"Sudah!" Teo merangsek ke dalam sambil mengangkat alis sebelah. Tina segera menjauh dari sang putri, begitu Teo berada dalam satu ruangan. "Racun apa yang ada taruh di otak istriku?" kata Teo begitu berpapasan dengan Tina, perempuan itu hendak keluar kamar, tanpa sepatah katapun Tina bergegas pergi, langkah kakinya semakin cepat, perempuan ini sejujurnya takut dengan sikap dingin Matteo yang terkesan begitu memusuhi.

Wulan masih menangis, ia memeluk lutut yang ditekuknya. Rambutnya tergerai menutupi wajah, Teo duduk memposisikan disamping sang istri, perlahan ia mengangkat tangan dan menjatuhkan di rambut sang istri.

"Lepas! Jangan sentuh!" Belum sempat berkata, Wulan menepis tangan Matteo dengan penuh marah. Hiksss...Wulan kian terisak.

Matteo bingung, harus bagaimana menghadapi wanita marah, susah, ia bukan tipe perayu, pandai merangkai kata, urusan wanita selalu menyusahkan, bagi Teo lebih baik mengerjakan pekerjaan kantor daripada harus merayu seorang wanita.

"Mas, minta maaf. Bukan bermaksud menyakitimu, tadi aku harus buru-buru mengantar Viona pulang, karena Viona mendapat panggilan dari kantor. Maaf tidak sempat berpamit denganmu," kata Teo penuh hati-hati.

Ketika Aku Mencintaimu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang