"Pekerjaan keren. Kita berhasil!" Lelaki berjas hitam dan dasi merah maron itu menuang minuman jenis softdrink ke dalam gelas.
"Dia hancur. Tiga klien langsung menarik kerja sama dengannya." Viona tersenyum manis. "Dan sebentar lagi, istrinya juga bakal meninggalkan."
"Kita rayakan kemenangan ini. Mari bersulang!" Hafiz menyodorkan segelas minuman berwarna biru.
Viona menerimanya. "Demi kemenangan kita. Chiiis!"
Dua orang itu merayakan kehancuran Matteo. Mereka berpesta di dalam bar, menikmati indahnya sebuah kemenangan.****
Tiga klien memilih mundur, memutus kerjasama. Lantaran kasus skandal Matteo dengan Viona yang belum terungkap kebenarannya, dan juga penggelapan pajak yang dilakukan anak buah.
Belum lagi sang istri tidak mau dihubungi. Tiga hari sejak kejadian itu, telepon maupun pesan sama sekali tidak dibalas Wulan. Setiap menelepon selalu diriject, berkirim pesan hanya centang dua hitam.
Matteo bersandaran di kursi sambil memijat kepala. Pening memikirkan banyaknya masalah, pribadi sekaligus urusan kantor.
"Sampai kapan seperti itu?" Lelaki berperawakan masuk dan berdiri di hadapan Matteo. "Duduk dan diam takkan menyelesaikan masalah."
"Sadewa, kepalaku pusing," keluh Teo memejamkan mata.
"Wulan marah."
Sadewa meletakkan sebuah tiket penerbangan di meja kerja Teo. "Pulang! Jangan biarkan hubunganmu dengan Wulan renggang. Hari ini ia pulang dari rumah sakit."
"Bagaimana dengan papa?"
"Pilih papa atau istri."
"Baiklah!"****
Siang itu juga Matteo gegas menuju bandara. Tidak peduli hal lain, satu tujuannya segera tiba di rumah dan bertemu sang istri, lalu menjelaskan semua kejadian, agar tidak ada cemburu maupun rasa benci di hati Wulan.
Dua jam di perjalanan, tibalah Teo di Yogyakarta. Ia langsung menuju rumah sakit, tempat Wulan di rawat.
Klerk! Pintu kamar berderit, kala Matteo membuka pintu.
Di ruangan serba putih itu Wulan berbaring dengan wajah miring ke samping kanan. Bibir Matteo tersenyum, tampak binar bahagia di raut wajah pria itu.
"Sayang?" Matteo begitu tiba, langsung memeluknya. Wulan hanya terdiam dengan bulir air mata.
"Kamu tega, Mas. Viona, kakakku."
"Dengar, semua itu bohong. Aku tidak selingkuh dengannya."
"Gambar-gambar itu. Menjijikkan sekali! Mas tahu, hancur hatiku. Lagi-lagi kamu mengotori pernikahan kita. Terlampau sering kau sakit."
"Dengar, Sayang. Aku hanya mencintaimu, tolong percaya denganku."
"Di malam itu tidak terjadi apapun."
Wulan terdiam beranjak duduk dan melepaskan pelukan sang suami. "Aku tidak sanggup hidup seperti ini. Lepaskan saja aku. Bukankah kau lebih bahagia tanpa diriku?"
"Ngomong apa kamu, Lan?" Matteo berdiri, menggaruk kepala. "Percayalah, Lan. Aku dijebak Viona dan Hafiz, mereka sengaja akan menghancurkan reputasiku dan Viona, kakakmu itu. Dia hanya ingin menghancurkan pernikahan kita. Ia membalas dendam akan sakit hati dan masa lalunya. Karena Ibu dan dirimu, Ayah Viona meninggalkan ia dan ibunya."
Air mata Wulan semakin deras mengalir.
"Jangan sedih. Mas janji akan menyelesaikan masalah ini."
"Mas," lirih Wulan, memeluk sang suami. "Aku takut kehilanganmu. Aku mencintai, Mas."
"Percayalah dengan Mas."
Wulan mengangguk.
Jemari Matteo terulur, mengelus rambut sang istri dan bibirnya mencium puncak kepala sang istri.
Siang ini, Wulan diperbolehkan pulang ke rumah.
"Kok Mama, tidak menjemput kita, Mas." Agak aneh, biasanya Fatma selalu berada di sebelahnya, menemani Wulan. Kali ini, sedari Matteo datang. Sang mertua baik hati itu tak terlihat.
Matteo tersenyum kecil, memang sengaja ia menyuruh sang mama, berada di rumah, agar ia bisa berdua dengan sang istri.
"Dia tidak mau menganggu kita."
"Mas menyuruh Mama di rumah."
"Iya, masak makanan kesukaanku. Aku lapar, Lan. Dari tadi pagi belum makan." Tangan Teo memegang setir mobil. "Suapin, Lan."
"Mas, ini manja."
"Aku kangen."
"Iya, ntar."****
Kaki tangan Matteo berhasil membuka borok Hafiz, lelaki itu masuk penjara karena menipu dan menyebarkan berita bohong skandal perselingkuhan Matteo dengan Viona. Hafiz juga ditangkap polisi, untuk mempertanggungjawabkan kasus penyelundupan barang. Sementara Viona ikut terkena getahnya, ia harus meringkuk di penjara, sebagai pelaku skandal bohong itu.
"Mas, boleh aku meminta?" Gelisah terlihat jelas di hati Wulan. Ia tidak tega melihat sang kakak di penjara. Sejahat apa pun Viona, ia tetaplah saudara, mengalir darah yang sama. "Mas, kasihan kak Viona."
Matteo terdiam, sambil mengusap wajah.
"Bebaskan kakakku, Mas. Kumohon mas," pinta Wulan memegangi jemari sang suami. "Wulan tahu kak Viona, orang baik. Ia menjadi jahat, karena situasi dan masa lalu."
"Lan, taaapiii..."
"Kumohon, Mas." Air mata Wulan leleh.
Matteo mengedipkan mata. "Demi kamu, baiklah."
"Terima kasih, Mas." Wulan tersenyum.
"Demi bahagia kamu, demi bayi kita." Matteo mengelus perut membesar sang istri.
Kandungan Wulan memasuki usia tujuh bulan. Beberapa hari lalu, melaksanakan ritual tujuh bulanan menurut adat Jawa.
Matteo juga masih bolak-balik Jakarta Yogyakarta. Kedua orang tuanya belum memperbolehkan Wulan kembali ke Jakarta, demi kandungan dan si jabang bayi biar sehat, selamat hingga lahir. Terkadang Matteo harus meninggalkan sang istri beberapa hari, berjuang LDR an, menahan rindu dan keinginan bertemu.
****
Sesuai permintaan sang istri, Matteo mengeluarkan Viona dari penjara.
"Boleh aku bertemu, adikku," kata perempuan berkemeja putih, ia lega bisa menghirup udara segar. Kebebasan, setelah menghabiskan beberapa bulan di dalam penjara.
"Adik, kamu menganggap Wulan adik," sahut Matteo menaikkan alis. "Bisa dipertanggungjawabkan perkataan itu."
Perubahan Viona, diragukan Matteo. Pria itu tak yakin, seorang yang begitu membenci bisa dengan mudah mau menerima orang yang dibencinya.
"Wulan, adikku. Saudara kandung sedarah. Ayah dan Ibu, kami sama," ujar Viona melangkah lamban. "Selama di penjara. Aku sadar, tindakan jahat selama ini terhadap Wulan, salah besar."
"Wulan sangat menyayangimu, ia mengharap engkau mau menemuinya dan kamu bersedia berkumpul dengan Ibumu, Harti."
Gadis cantik itu menghela napas berat. Ia belum siap tinggal dengan wanita yang pernah membawa lari papa kandungnya dari sang mama, walau faktanya wanita itu, ibu kandungnya sendiri.
"Ok, aku paham. Kamu butuh waktu." Matteo membuka pintu mobilnya. "Tapi apakah kamu bersedia menemui istriku."
Viona mengangguk,"baiklah, Pak."
"Silahkan!"
Keduanya memasuki mobil. Matteo membawa kakak kandung dari sang istri menuju bandara. Guna memenuhi permintaan Wulan, terpaksa Matteo melakukan penerbangan menuju Yogyakarta dan meninggalkan pekerjaannya di Jakarta.
Sepanjang perjalanan tiada pembicaraan antara keduanya, mereka terdiam dalam pemikiran sendiri.
Matteo membayangkan sang istri. Ia kangen dengan istrinya itu, hampir 2 Minggu ia tak pulang dan selama itu menahan rasa rindu dengan Wulan beserta si bayi di kandungannya.
Satu jam berlalu dan mereka tiba di bandara NYIA di Kulon Progo.****
Viona dan Matteo disambut baik Wulan. Wanita hamil itu percaya sang suami, ia membuang jauh rasa cemburu.Viona kakak, saudara kandung. Ia akan menyayanginya, walau sang ibu masih tetap membenci. Seiring waktu, Wulan akan berusaha menyatukan Viona dan Kartina.
"Boleh aku memelukmu?" lirih Wulan memandang Viona dengan mata berkaca-kaca.
Viona hanya bergeming.
"Kita saudara."
"Viona," desis Teo mengedipkan mata. Suatu isyarat agar gadis itu memperbolehkan Wulan memeluknya.
Gadis berperawakan tinggi itu berkedip.
"Kakak," ucap Wulan, air matanya leleh.
Wanita di sisi Wulan membuang pandang.
"Bu, kakak kembali. Dia keluarga kita."
"Apa kabarmu?" tanya Tina, sebenarnya ia enggan bertegur sapa dengan Viona. Ancaman Matteo memaksanya berbuat baik ke Viona.
Keluarga sang istri berhasil Matteo pertemukan dan satukan. Meski mereka harus kaku dalam menjalankan interaksi. Perlahan Wulan, mendekatkan Viona dan Tina.
****
Kandungan Wulan memasuki usia 9 bulan. Sedari kemarin ia duduk gelisah, merasakan perut yang terkadang nyeri.Kini tiba waktu perkiraan melahirkan. Satu Minggu ini, ia tinggal di desa, sengaja di rumah Tina, untuk bisa bersama Viona serta mendekatkan dua orang tersebut.
"Duh!" keluh Wulan mengelus perut. Ia duduk di dipan.
Viona dari balik jendela, memperhatikan gerak-gerik Wulan. "Kamu tidak apa-apa, Kan?" Gadis itu beranjak mendekatinya.
"Perutku mules."
"Apa, Lan?" Tina kaget. Ia meninggalkan ruang tamu dan gegas menuju Wulan. "Itu tandanya mau melahirkan."
"Kita bawa ke rumah bersalin, Bu."
"Iya, Vi. Wulan hendak melahirkan."
Keadaaan Wulan yang kesakitan mengalami kontraksi, menyebabkan Viona dan Tina membuang batasan. Mereka menjadi kompak, tak peduli lagi dengan luka masa lalu.
Matahari mulai menyingkir, jingga senja di ujung barat mewarnai langit.
Tangis bayi laki-laki memecah semesta. Terlahir sempurna dengan wajah tampan perpaduan papa dan mamanya. Dia wujud cinta kasih dua anak manusia, antara Matteo dan Wulan.
End
Maaf, sampai sekian ya.
Terima kasih atas waktu dan kesempatannya untuk membaca kisah sederhana ini.
I love you all, 🙏🙏🙏❤️❤️❤️😍😍😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Aku Mencintaimu.
Roman d'amourKetika aku mencintaimu. Permis. Aku tidak bisa menolak perjodohan dengan wanita yang tak pernah ku kenal dan belum pernah bertemu, sekalipun di mimpi. Andai saja kedua orangtua ku tidak memaksa, serta mereka mau menerima kekasih ku, Gabrielle. Tentu...