Chapter 21 : Plisss, buka hatimu.

5K 164 8
                                    


Siap- siap dengan gombalan dan rayuan maut Abang Teo....
Tarik bang, tambah gas....
Biar kau cepat dapat cinta bini loe..


❤️❤️❤️❤️❤️

Matteo melakukan segala cara, untuk mencari perhatian sang istri yang sangat dingin dan tak banyak bicara itu, bahkan terkesan sengaja mendiamkan.

"Apelnya manis, mau?" Matteo menyodorkan potongan buah itu ke mulut sang istri, setelah selesai mengupas dan memotonginya. "Buah bagus buat kesehatan, biar cepat sembuh."

Wulan menelengkan kepala ke samping.
Sejak siuman semalam, ia berusaha membuang pandang dari sang suami, ia telah mengusir Matteo dari ruangan rawat, tapi lelaki itu kukuh tak mau pergi dengan berbagai alasan.

" Baik, kalo nggak mau.
Apa kamu ingin makanan lain? Biar aku carikan." Matteo meletakkan buah ke atas nakas.

"Sepagi ini aku nggak pingin makan. Kamu kira aku masih hamil dan nyidam, makan buah begituan," celetuk Wulan, ia miring dan beralih menatap Teo dengan sorotan tajam. "Nggak usah sok baik, aku nggak butuh perhatianmu."

Matteo mengusap wajah kucelnya. Emosinya harus terkendali, ia harus menjaga amarahnya walau dalam hati ia dongkol karena semua kebaikan yang ia lakukan selalu ditolak Wulan.
Ia bukan tipe penyabar dan pengalah, tapi demi Wulan, agar mau tertarik dengannya, ia rela bila harus berdiam ketika suara Wulan mengolok.

"Ya udah. Nanti kalo lapar dan pingin sesuatu bilang mas, ya. Nanti mas carikan," ujar Teo lembut.

Matteo jelas berubah 180 derajat, penuh perhatian. Bahkan membantu sang istri ke kamar mandi, untuk sekedar buang air  Semalam lelaki itu tidak tidur, berkali- kali Wulan terbangun dan melihat Matteo selalu dalam posisi duduk di sebelahnya sambil memegangi jemari kurusnya. Wulan melihat pula, lelaki itu menangis sambil menyesali perbuatannya.

Ada rasa bersalah dan iba terhadap Matteo yang sekarang, tapi mengingat kejadian terakhir. Wulan membenci pria ini, ia belum menerima kenyataan bahwa bayinya meninggal memang sudah ditakdirkan dari yang kuasa, bukan semata ulah Teo.

"Kamu masih disini, tidak masuk kerja?" tanya Wulan.

Matteo tersenyum sambil menggeleng, sedikit suara Wulan, bagi Teo jauh lebih cukup daripada didiamkan seperti kemarin.

"Nanti papa yang mengurusi pekerjaan kantor, 'kan ada Sadewa juga. Oya adikku itu sudah mau ke kantor, loh. Kata dia itu karena nasehatmu." Teo membuka korden, sudah pagi, pancaran sinar matahari masuk ke ruangan. Lelaki itu tersenyum manis, tatkala melihat taman rumah sakit penuh dengan orang. "Kamu mau ke taman. Mungkin udara disana jauh lebih sejuk dan sinar matahari pagi bisa menghangatkan tubuhmu."

Wulan mengeleng.

"Apa mau mandi? Biar aku bantu." desis Teo, kenapa otaknya sekonyol ini.

Mata Wulan mendelik.

"Maksudku bukan...Aku hanya membantu, tidak macam-macam." Matteo bergerak gelisah.

"Otak mesum!" celetuk Wulan.

"Lah, kamu istriku, tak ada salahnya 'kan membantu dan mengurusi istri, selama ini kamu sudah sangat membantuku, kini ketika kamu membutuhkanku,  kenapa tidak?"

"Hemmmssss...." Wulan menggeram kesal. "Aku bisa ke kamar mandi sendiri, tak perlu bantuanmu."

Salah lagi. Matteo mengaruk kepala, benar-benar susah untuk mendapatkan hati Wulan, niatnya baik tapi pikiran buruk Wulan sudah terlebih dulu menuduh Matteo hendak berbuat asusila.

Ketika Aku Mencintaimu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang