Teo terus membuntut di belakang sang istri kemanapun istrinya pergi, karena penasaran hasil testpack yang tadi siang mereka beli di apotik. Istrinya itu belum mengecek kehamilannya karena jengkel terhadap Matteo yang masih melakukan hubungan telepon dengan si Gabe dan ia mendengar kekasihnya itu mengajak balikan, walau Matteo menolak mentah-mentah, tapi tetap saja Wulan kesal, bibirnya yang manyun dan tipis tak henti mengocehi Matteo dengan cerewet."Ayo sih dicek, jangan bikin penasaran." Teo berjalan mondar mandir mengikuti langkah sang istri yang sibuk memindahkan pakaian dari lemari ke dalam koper. "Aku ayahnya, aku perlu tahu."
"Hems!" desah Wulan mengangkat kepala dan beralih menatapi suami. "Masih saja teleponan dengan Gabe, dan mau reunian. Baik, aku mengalah."
"Itu, kenapa pakaian kamu dimasukkan ke dalam koper?" Cemas Teo melihat sang istri memasukkan pakaiannya. "Kau jangan pergi! Mau kemana? Tetap di rumah."
"Mau pulang kampung. Mas mau balikan dengan Gabe? Baiklah, silahkan! Tapi biarkan aku pergi."
"Apa-apaan, kamu, Lan. Tadi dengarkan aku menolak ajakan perempuan itu, aku tak cinta dia. Aku cuman cinta kamu, aku tak bisa hidup tanpamu." kata Teo protes. "DENGAR Aku cinta kamu dan hanya kamu seorang."
"Kau bohong."
"Tidak." Teo mengambil pakaiannya sendiri dan ikut memasukkan ke dalam koper. "Aku buktikan jika aku memang cinta kamu. Baik kita mudik ke kampung, sore ini juga dan kita bakal tinggal sepuasnya disana."
Mata Wulan membelalak, ia kaget dengan ucapan Teo.
"Beres. Sekarang tinggal pamit ke mama," kata Teo menyeret koper keluar kamar.
****
Fatma terkejut dengan rencana kepulangan dadakan Wulan dan Matteo, sebenarnya ia tak mengijinkan tapi karena Matteo yang merengek dan bersikeras ngotot pulang ke kampung sang istri. Fatma bisa apa, terkecuali mengijinkan, lagi ia kasihan juga dengan Wulan, barang-kali istri Teo itu rindu dengan sang Ibu dan kampung halamannya. Karena selama menikah dengan Teo, sekalipun ia belum pernah pulang ke rumah.
"Thanks ma," kata Teo tersenyum.
"Jaga istrimu baik-baik!" pesan Fatma.
"Beres."
"Lan, salam ya buat ibu. Kalian juga hati-hati, udah hendak malam."
"Iya, ma. Assalamualaikum," jawab dan salam Fatma mencium punggung tangan Fatma.
"Walaikumsalam."
****
Dua jam berkendara, akhirnya mobil sport itu memasuki jalan desa.
Berhubung sudah jam tujuh malam, tidak ada kendaraan maupun orang yang lewat di sekitar sini.
Suasananya begitu hening dan tenang."Klakson!" perintah Wulan begitu lewat gardu yang dipenuhi pemuda dan laki-laki dewasa.
"Teeettttt!" Matteo menekan tombol klakson, ia juga membuka kaca mobil.
Laju mobil juga diperlambat.
"Permisi," sapa Wulan melongok keluar ke arah keramaian di gardu itu.
Mereka menghentikan aktivitas bermain kartu dan beralih fokus memandang mobil, terutama ke si penumpang dan pengendara di dalamnya.
"Itu si Wulan, anaknya Tina. Sekarang jadi orang kaya, lihat suaminya tunggangannya mobil keren gitu." kata salah satu pemuda. Kedatangan Wulan dan Matteo langsung menjadi buah bibir di tengah acara kumpul-kumpul itu.
"Bos sialan itu," celetuk Rudi menatap sinis si pengemudi. "Bagus dia kemari, aku tunjukkan siapa yang lebih kuat. Gara-gara kau, aku harus menganggur. Awas kau!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Aku Mencintaimu.
RomantizmKetika aku mencintaimu. Permis. Aku tidak bisa menolak perjodohan dengan wanita yang tak pernah ku kenal dan belum pernah bertemu, sekalipun di mimpi. Andai saja kedua orangtua ku tidak memaksa, serta mereka mau menerima kekasih ku, Gabrielle. Tentu...