BAB 16 - Perang Lucifer

349 67 0
                                    

Selamat Membaca👑

Seperti yang sudah direncanakan oleh ibunya. Badha harus dengan senang hati menerima keputusan untuk tidak masuk sekolah sampai hari yang belum ditentukan.

Kemarin, sesampainya di rumah. Pak Zainal, dokter pribadi keluarganya sudah duduk menunggu kehadiran Badha dengan cemas. Ibunya tak kalah heboh. Berteriak histeris saat suaminya menggendong masuk tubuh putrinya.

Syukurlah. Ibunya masih waras dalam beberapa urusan.

Setelah tidur seharian, akhirnya Badha memutuskan untuk mandi. Meski harus menggunakan air hangat, ralat. Lebih tepatnya air panas. Dan lebih parahnya lagi, ibunya itu ikut andil dalam urusan memandikan Badha. Ya ampun, ia sudah delapan belas tahun. Dan betapa melakukannya itu.

Hujan sejak pagi mengguyur Jakarta. Setelah kemarin tidak kembali ke kantor dengan alasan ingin selalu siaga . Akhirnya Badha berhasil memaksa ayahnya untuk kembali bekerja.

Rumahnya sangat sepi. Rabu tinggal saat acara sarapan berlangsung, memilih membawa piring kedalam kamar Badha, menemani adiknya yang memilih malas-malasan diatas ranjang.

Ibunya baru saja pergi, sekitar satu jam yang lalu. Setelah memastikan Badha menegak obat, wanita itu pamit untuk menghadiri pertemuan dengan beberapa teman arisanya.

Badha bergerak turun, tubuhnya tidak selemas kemarin, dengan perlahan ia berjalan menuju meja belajar. Meraih ransel miliknya, Badha perlu mengecek beberapa barang yang belum sempat ia keluarkan.

Setelah kembali ke ranjang, dituangnya isi dalam ransel, banyak buku, ponsel, botol minum dan ponsel. Oh astaga, Badha tidak mengecek ponselnya sejak kemarin. Dilihatnya banyak pesan basa basi masuk dari teman-temannya. Badha memilih tidak membalas, ia tidak suka bermain drama.

Setelah memastikan semua barang pribadinya tidak ada yang tertinggal, Badha berniat kembali memasukan isinya kedalam tas, namun mendadak, netra miliknya menangkap sesuatu yang amat sangat menarik. Jika tidak salah, benda itu adalah sapu tangan. Tapi milik siapa.

Badha menimang untuk beberapa saat, merasa sudah tidak kuasa menahan rasa penasarannya, jemari lentik itu secara perlahan bergerak mengambilnya.

Tunggu dulu, ini aneh. Katakan orang eksentrik mana yang memiliki peta nusantara di permukaan kainnya.

Merasa tertarik, Badha meletakan sapu tangan tersebut kedalam laci nakasnnya. Setelah itu, ia bangkit. Suara ibunya lebih dulu mengusik, Badha menoleh saat pintu dibuka. Benar saja, wanita tua itu sudah berdiri disana.

Badha mengerjap, "Teman teman ada dibawah, nungguin kamu kayaknya,"

Setelah itu, ia mengambil cardigan dan bergerak menyusul ibunya. Ternyata benar. Ruang bawah rumahnya sudah dipenuhi dengan manusia manusia unik dari Bogor.

Begitu langkah Badha sudah diujung anak tangga, suara teriakan yang saling menyahuti terdengar.

"Badha!"pekikan yang sangat membahana, nyaris tuli telinga dibuatnya.

"Kamu udah sembuh belum. Kita kangen banget!"

Oh astaga. Omong kosong macam apa ini. Kau tahu, Badha tidak juga tersentuh. Tidak juga merasa hangat. Ia malah muak. Ia lelah ketika semua orang bersikap seolah dirinya memang patut disanjung. Badha tidak bodoh, ia tahu kebenaran sesungguhnya. Mereka melakukan ini, seolah benar-benar merindukan Badha. Seolah olah khawatir akan kesehatannya, hanyalah sebuah kedok. Kepalsuan belaka. Bagaimana bisa, tentu saja. Mereka ingin mendapat penghargaan dari Badha. Mereka hanya bermuka dua.  Tidak benar-benar tulus. Memang sulit menemukan teman yang menghargaimu apa adanya, mereka melakuakan ini karena semua kekayaan, popularitas dan kecantikan yang Badha miliki. Dan jujur, Badha benci segala karunia yang sudah Tuhan berikan tadi.

Ia ingin jadi biasa saja. Memiliki sahabat yang setia dan tulus. Tapi kenapa semuanya tidak pernah menjadi sederhana.

Setelah acara berpelukan seleseai, mereka kembali duduk. Cowoknya membentuk koloni sendiri. Duduk di bagian depan dekat ruang tamu, bermain kartu dan meja bilyard di ruang terbuka.
Sementara para cewek, memilih untuk mengerumuni meja kaca diamana semua hidangan di letakan.

Badha berdeham. Ia mendapati Talita tengah duduk anggun diatas sofa keluarganya. Gadis itu memang begitu, rumah keluarga Badha sudah ia kenal dengan amat baik. Kakinya disilangkan, sesekali tampak menanggapi obrolan teman satu ganknya. Entah apa yang mereka bicarakan, dimanapun Talita and the gank , mereka akan selalu memilih bergunjing sebagai kegiatan wajib.

Sementara teman-temannya yang lain sibuk mengaggumi betapa besar dan mewah rumah Badha.

"Kamu kapan masuk sekolah lagi?!"

Badha tersentak. Ia mengerjap, sekilas Badha mendapati jika Talita tengah menatap kearahnnya.

Ditolehkanya kepala, mendapati tubuh Zuan sudah duduk disebelahnya.

"Belum tahu. Tapi gue harap bisa secepatnya!" Badha tersenyum, sementara Zuan tampak tidak puas.

Badha mendengar suara ibunya. Ternyata, wanita tua itu sedang sibuk berteriak ketika harus kalah dalam permainan kartu.

Semua orang sibuk. Piring piring berisi kue diedarkan. Gelas gelas kosong kembali di isi dengan yang baru, semua orang senang dengan jamuan dari ibunya sore itu. Badha mendesah, setelah bercerita banyak mengenai sekolahan, Zuan memilih pamit untuk bergabung dengan Soke,  bermain catur. Badha mendesah. Wajah yang ia harapkan tidak ada. Dan entah mengapa, ia sedikit kecewa.

Mendadak. Badha ingin teman-temannya segera pulang. Ia lelah, ingin terlelap saja.

👑👑👑

Jadi, sudah genap seminggu semenjak ia harus pulang dari sekolah lantaran sakit.

Sore ini, Zuan bersama Soke, entah bagaimana ceritanya datang berkunjung ke rumahnya. Masih menggunakan seragam sekolah, dua teman yang memang paling dekat dengan dirinya itu kembali datang setelah sebelumnya, sebanyak dua kali sudah menjenguk Badha.

Badha sudah jauh lebih baik. Sudah bisa makan nasi dan minum susu. Jika sebelumnya ia hanya sanggup makan buah, maka terhitung sejak sarapan selesai. Badha telah melahap nyaris empat piring nasi.

"Besok lo wajib masuk. Soalnya ada konsolidasi study tour semester akhir!"

Soke kembali menjejalkan potongan buah kiwi segar kedalam mulutnya. Badha diam menyimak, ketua kelasnya itu paling tidak suka jika ada yang menyela saat ia sedang berbicara.

Badha mengangguk. "Dan lo harus lihat giman arogannya Tallita saat menyampaikan usul!"sambung Zuan yang muncul mendadak dengan piring berisi siomay.

Benarkah. Ah, seperti tidak mengenal Talita saja. Badha jadi memutar ingatan kemarin, saat teman satu kelasnya datang berkunjung. Tingkah laku Talita sangatlah buruk. Saat yang lain sibuk berbenah dan mebereskan meja sebelum pulang. Ia malah dengan tidak bersalahnya duduk. Tidak mau membantu dan memilih acuh.

Belum lagi kelakuan buruk temannya, yang dengan tidak tahu malu menggoda Rabu. Terang-terangan.

Badha tersenyum kecut.

"Kita balik dulu ya, Badha."

Badha menatap Zuan. Soke ikut mennganngguk, sudah berdiri di samping gerbang rumah. Motor miliknya terparkir di luar.

"Oke. Makasih ya kalian, dari kemarin jauh jauh mampir ke sini. Take care!"

Setelah berpelukan, Badha menatap Zuan yang baik keboncengan motor Soke dan keduanya melaju. Segera meninggallkan rumah. Badha tersenyum, ia masih memiliki sahabat. Yang benar benar tulus berteman. Soke dan Zuan.

~b e r s a m b u n g~

Tuhan Kenapa Aku Cantik ? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang