Selamat Membaca 👑
Topik yang dipilih ibunya selama sarapan kali ini benar-benar membosankan. Betapa Badha ingin mengamuk saja.
Dengan malas, disuapkannya nasi kedalam mulut. Menatap jengah ibunya di kursi depan, yang dengan penuh semangat membara berusaha menceritakan ulang runtutan kejadian semalam yang katanya, membuat dirinya tidak tidur.
Benarkah ibunya itu tidak bisa tidur. Badha melirik ayahnya yang tampak sama sekali tidak terganggu dengan semua celotehan ibunya. Lelaki tua itu sibuk menyesap kopi miliknya. Sementara Rabu, abangnya itu diam. Tampak acuh dan sibuk mengunyah daging kedalam mulutnya. Mesti tepat disampingnya, ibu mereka berbicara mirip radio rusak. Rabu dengan sabar bersedia meladeni barang hanya beberapa patah kata saja. Cukup melegakan.
"Aku benar-benar senang karena tetangga baru kita datang berkunjung. Aku yakin, tidak satupun rumah di kompleks ini yang kedatangan dua cowok dengan wajah tampan dalam semalam!"teriak Ibunya.
Wanita tua itu nyaris tidak bermasalah dengan gumpalan nasi yang memenuhi mulutnya. Badha takjub, padahal ibunya itu adalah tipe wanita naif yang sangat menghargai tata cara makan ala keluarga kerajaan. Tapi lihatlah, hanya karena tetangga baru yang agaknya sangat membuatnya senang, wanita itu sudi melanggar hal-hal remeh yang selalu dipropagandakannya.
"Mama makan sambil bercerita dan tampak sangat menggebu-gebu. Itu bukan bagian dari seorang wanita berkelas bukan?!"
Nyonya Wijaya menatap tajam putrinya. Dengan bantuan air putih satu gelas, wanita itu menelan makanannya.
"Oh sayang. Tidak seharunya dirimu mengingatkan wanita berkelas seperti ku saat sedang makan."
"Tapi Mama juga menegak air satu gelas dalam sekali tegukan, itu tidak dilakukan oleh wanita berkelas!"
Ibunya tampak mendesah." Tentu saja Badha, dan Mama senang karena kamu sudah sepenuhnya menjadi seorang gadis berkelas!"
Badha meletakan sendok miliknya. "Tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya, kau tahu Mama. Berusaha berbicara sebagai seorang gadis berpendidikan yang tidak dengan mudah melanggar pendirian hanya karena sesuatu yang kelewat membahagiakan. Seperti Mama!"
Ditempatnya duduk. Ratih Wijaya tampak menggeram."Badha kamu mengatai Mama wanita tidak berpendidikan hah?!"
"Tidak. Tapi Mama sendiri yang membuat itu menjadi jelas!"
Nyonya Wijaya memijat pangkal hidungnya. "Kau harus belajar kelas berbahasa Badha, itu sangat memalukan!"
Badha sudah selesai dengan sarapannya. Ia bangkit, melirik ayahnya sekilas. Lelaki tua itu tampak menedipkan sebelah matanya. Badha balas dengan hal yang sama.
Rabu ikut bangkit. Sudah seharusnya ia juga Badha berangkat bersama. Bogor, adalah tujuan keduanya nyaris setiap pagi.
Setelah berpamitan, keduanya siap diatas motor besar Rabu.
"Jadi, dua cowok tampan semalam itu teman satu kelas kamu?"
Badha yang ada di jok belakang sedikit mencongdongkan tubuhnya. Berusaha agar tetap mendengar kalimat abangnya dengan jelas.
"Benar. Dan jujur, aku tidak begitu menyukai mereka!"terang Badha dengan suara keras, berusaha menyamai bising kendaraan di ibu kota.
Rabu terdengar terbahak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuhan Kenapa Aku Cantik ? [TAMAT]
Teen FictionHai! Kenalin nama gue Badha Suri. Okay, kalian pasti mikir 'kok namanya aneh sih?' Hahaha! Dan kupersembahkan kepada kalian yang sedang singgah untuk membaca kisah hidup gue. Dimana menurut gue pribadi, terlahir CANTIK itu mimpi buruk. Well, mungkin...