BAB 09 - The Enemy Next Door

419 85 0
                                    

Selamat Membaca👑

Badha pulang sekolah dengan lesu. Seperti hari hari biasannya, perjalanan yang ia tempuh membuat tubuhnya remuk redam begitu tiba di rumah.

Tapi, sore ini hujan tidak mengguyur kota Jakarta. Agaknya semesta merestui ide gila ibunya, yang sudah mereka rencanakan sejak kemarin.

Sedikit disayangkan memang, Badha jauh lebih senang jika hujan deras mengguyur. Meski kehujanan, setidaknya ia tidak perlu repot-repot menuruti kemauan dari ibunya.

Saat memasuki rumah. Keadaan sepi, jika biasanya Badha menemukan ibunya duduk dengan kaki bersila di ruang depan, membaca majalah wanita. Maka kali ini tidak. Sepertinya Rabu juga belum pulang dari kampus, sementara ayahnnya sendiri. Badha menebak baru akan tiba saat jam makan malam berlangsung.

Aroma sedap menguar. Badha kenal dengan betul gerangan apa yang tengah diperbuat oleh ibunya. Memasak kue tentu saja, memangnya apalagi.

Di dapur, suara bising saling bersahutan. Badha menahan nafas, ia ingin segera tiba di kamar dan mengunci pintu. Tentu agar ibunya tidak dapat mengusik Badha. Lalu, ia juga berencana mengatakan sambil berteriak dari balik pintu, jika perutnya sakit, sehingga acara berkunjung ke rumah tetangga baru dengan terpaksa kembali digagalkan.

Tapi. Kenapa baru satu anak tangga, suara dari ibunya sudah terdengar. Badha mendesah berat, membalikan badannya. Menatap sang ibu dengan malas. Sebenarnya punya berapa mata wanita tua itu.

"Badha. Bagus karena kamu pulang lebih cepat hari ini. Ganti baju dan kenakan gaun pendek selutut, setelah itu pergi antarkan kue ini!"

Alasan. Iya,  Badha butuh satu alasan. Tapi apa ya.

"Badha lagi sakit perut Ma,"

"Oh tentu tidak ada alasan Badha. Go on! "

Badha menggigit bibir bawahnya. Sementara beberapa ART  yang tadi bertugas membantu ibunya bergerak perlahan, menyingkir. Sepertinya acara masak memasak selesai tepat waktu. Kenapa tidak molor saja sih.


Tak punya kuasa untuk menolak. Badha mengangguk lesu, menaiki tangga menuju kamarnya berada. Ia akan pura-pura pingsan saja jika begitu.

"Jangan pura-pura pingsan Badha. Mama bisa hukum kamu nanti!"

What the hell.

👑👑👑

Lima belas menit berikutnya. Dengan gaun selutut warna biru muda yang tampak anggun dengan payet payet kecil dibagian leher, Badha berdiri mematung di depan pintu sebuah rumah besar. Yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca.


Rambutnya yang pendek sebahu dikelabang, ditarik ke samping mengitari kepalannya.  Badha tampak seperti tengah mengenakan mahkota. Style rambut kesukaannya.

Tadi, satpam didepan gerbang mempersilahkan Badha sendiri yang mengantarkan kue kepada majikannya. Padahal, saat menemukan seorang pria tua dengan seragam putih hitam tadi, Badha sangat senang. Pikirnya dengan begitu ia tidak perlu bertemu dengan si tuan rumah. Tidak perlu berbasa-basi juga. Dan dengan segera, Badha bisa kembali pulang. Menenggelamkan dirinya dibalik selimut, membaca bab terakhir dari novel Pride and Prejudice.

Badha menimbang dengan gusar. Kira-kira kalimat apa yang akan ia lontarkan. Kenapa mendadak jadi kaku semacam ini. Badha menoleh, Pak Satpam masih ada diruangannya. Duduk dengan tegap di kursi busa, menatap siaran sebuah pertandingan sepak bola.

Tuhan Kenapa Aku Cantik ? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang