BAB 47 - Dibalik Semak Belukar

199 35 2
                                    

Kok belakangan part Badha-Aksara gak ada sih?

Xixixix. Kan dari awal ini bukan cerita tentang mereka berdua aja. Lagian ini juga bukan novel bucin, jadi ya gitu deh.

Semoga paham yakkk ^^

Selamat Membaca♡

"Terus, rencana lo selanjutnya?"

Aksara membalik tubuhnya, masih dengan stick ice cream di tangan kanan. Bersandar pada sisi pembatas jembatan. Cowok dengan hoodie hitam itu diam, kedua bola mata miliknya menerawang jauh.

"Akhir pekan nanti rapat pemegang saham dilaksanain dan gue rasa Bahtera tetap unggul di posisi CEO."

Badha ikut diam, tampak memikirkan sesuatu. "Dia pimpin perusahaan karena lo belum siap buat ambil kuasa. See, bukanya sekarang lo udah mampu. CEO gak harus kerja di perusahaan kan? Suara lo doang yang ambil alih dibanyak keputusan perusahaan. Seharusnya jadi direktur aja cukup dong. Kenapa pingin yang lain, aha! Karena dia pingin perusahan itu kan. Lara Group!"

Aksara terbahak. "Otak lo boleh juga!"

Badha merubah posisi berdirinya, ikut menghadap Aksara yang agaknya tampak acuh dan memilih sibuk dengan ice cream miliknya.

"Terus, plan B lo apa?!?"

Aksara menatap Badha. "Gak ada!"

"Kemana Aksara yang menggebu kayak kemarin. Masa cuma karena lo gak dapat dukungan dari pihak pihak tertentu lo nyerah sih. Gue bakal bujukin bokap gue lagi buat bentuk tim oposisi. Gue yakin banyak pihak yang bakal ngebela elo. Tinggal dipancing aja!" ujar Badha melotot.

"Bukanya gue nyerah. Lagian benar juga kok, gue mana bisa pimpin perusahan. Om Bahtera punya pilihan yang benar. Dan sejauh ini, keluarga dia yang udah besarin gue. Gue cuma gak mau rusak hubungan yang ada cuma karena tahta."

Badha mendelik. "What!"

"Oh iya satu lagi. Jangan minta bokap lo buat aneh-aneh. Beliau udah mau beli saham Ajidarma aja gue udah bersyukur. Seenggaknya, posisi gue aman untuk sementara waktu."

"Aman?! Dia bisa nendang lo kapan aja!"

"Om Bahtera gak bakal ngelakuin itu!" elak Aksara.

"Lo yakin?!"

Menoleh. Keduanya saling bertatapan. "Gue kenal beliau dari lahir. Dan kayaknya kita perlu bubarin misi rahasia kita deh. Besok ke rumah pohon yuk!"

Badha menghembuskan nafas, Aksara mengalihkan pembicaraan. Nafas gadis itu memburu. Badha benar-benar tidak habis pikir dengan Aksara. Kenapa cepat banget berubahnya, dalam sehari.

"Cabut yuk, keburu malam!" ajak Aksara mendahului Badha. Cowok itu meraih ransel lantas berjalan berlawanan. Meninggalkan jembatan.

♡♡♡

Badha sampai rumah selepas azan maghrib. Aksara memang mengatarnya sampai rumah. Tapi ada yang aneh diantara keduanya, selain bungkam selama perjalan. Kecangungan juga sekat semu seolah dibangun perlahan oleh Aksara. Emangnya salah ya, dia cuma mau rebut kembali perusahaan miliknya. Dan Badha bersedia bantu, kenapa seolah Badha yang jadi tokoh antagonisnya.

Ok fine. Bahtera emang punya saham di Lara Group. Dan setelah kedua orang tua Aksara meninggal, beliau emang duduk di kursi CEO. Tapi bukan berarti bisa ambil keputusan sewenang-wenang dong.

Aksara menghargai mereka, tapi bukan berarti harus diam aja pas sadar kalo semuanya sedang enggak baik-baik aja.

Aduh. Kenapa sekarang jadi Badha yang emosi sih. Padahal perusahaan yang lagi urgent kan punya Aksara.

Badha berjalan menuju jendela kamar miliknya. Membuka tirai, menatap ke lantai dasar dimana motor besar Aksara baru saja melaju meninggalkan rumah.

Tanpa sadar, Badha mendesah. Entah apa yang ada dipikiran Aksara. Badha yakin, Aksara enggak menyerah ataupun pasrah sama nasib perusahaan mendiang orangtuanya. Pasti ada hal lain yang lebih punya pengaruh besar sampai Aksara yang punya tekad buat menang berubah haluan.

Kira-kira kenapa ya. Apa Siang tahu? Apa ibunya Siang juga tahu?

Badha turun kebawah, berhambur ke lantai dua dimana ayahnya biasa menghabiskan waktu untuk membaca.

"Papa! Papa!" teriak Badha membahana.

Rabu yang kayaknya baru keluar dari kamar sampai dibikin heran sama kelakuan adeknya. Badha berlari menuruni tangga ketika tidak menemukan keberadaan pria tua yang dicarinya.

"Papa!"

See. Ternyata ada di taman belakang.

"Kamu kenapa sih teriak-teriak?!" jawab Pak Wijaya menatap putrinya heran.

"Papa harus bantuin Badha, buat tim oposisi di perusahaan Aksara. Buat penangguhan perpanjangan masa jabatan CEO sementara. Papa punya saham di sana, Papa tahu kan pihak mana aja yang ada dipihak kita! Pah, masa CEO mengkambinghitamkan direkturnya sendiri. Papa gak kasihan sama Om Ajidarma. Udah dipecat, kekayaanya di sita Bank lagi?! Ayo Pa, buat keputusan!"

Pak Wijaya menatap Badha dengan dahi bergelombang. Putrinya kesambet setan apa.

"Papa emang beli saham Ajidarma kemarin, tapi bukan berarti Papa bisa bikin tim oposisi. Lagipula saham yang kita punya gak jamin kita bakal dapat kursi di rapat besok."

Badha menyipitkan mata. "Papa tahu dapat akhir pekan nanti. Pa, Papa tau kan ada yang gak beres, masa Papa diam aja sih. Katanya Papa pebisnis berprinsip."

Pak Wijaya menyentuh puncak kepala putrinya. Tersenyum hangat. "Papa gak bisa bertindak gegabah, bahaya buat perusahan pribadi kita juga sayang!"

Badha mengelak. Menarik tubuhnya menjauh.

"Lagipula Aksara memang masih terlalu muda untuk duduk di kursi CEO."

"Terlalu muda bukan berarti enggak mampu kan Pa. Seengaknya , mereka itu melibatkan Aksara selaku pewaris sah. Bukanya malah seenak jidat mentang-mentang udah berkontribusi banyak buat perusahaan! Terus kenapa Bahtera pingin sahamnya unggul kalo gak buat mengkudeta perusahaan."

♡♡♡

Badha kembali naik ke kamarnya, mencari keberadaan ransel sekolahnya. Ia perlu menghubungi seseorang.

"Halo, Talita. Gue mau ngomong tentang,"

"Urusan misi. Baru aja Aksara nelfon gue, dia bilang misinya cukup sampai di sini dulu." jawab Talita memotong kalimat Badha yang bahkan masih menggantung.

Badha menggigit bibir bawahnya. "Lo nyerah?!"

Talita ditempatnya duduk diam. Menatap layar komputer miliknya.

"Enggak. Gue tahu bokap gue juga lagi usaha. Lagian, gak ada yang bisa kita lakuin."

Badha memukul meja. Diputusnya sambungan secara sepihak.


~bersambung~

Tuhan Kenapa Aku Cantik ? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang