Langkah

10.3K 728 13
                                    

Jam masih menunjukkan pukul setengah 6 pagi, namun tangan ramping Anaya sudah mulai berkemas dan tidak lupa merapihkan kamar hotelnya. Kebiasaan Anaya setiap tidur di sebuah penginapan atau hotel, meskipun ia telah membayar, baginya setiap profesi seseorang perlu dihargai. Setiap orang pantas untuk dihargai. Baginya sekedar merapihkan beberapa hal yang ia pakai tak masalah, agar orang yang bekerja membersihkan kamar hotelnya ini tidak terlalu lelah.

Rencana keberangkatan Anaya menuju Jogja sekitar pukul 7 pagi, maka ia segera berkemas dan menuju lobi untuk sekedar check out dan memesan layanan antar menuju bandara. Otak Anaya terus Anaya usahakan untuk teroperasikan dengan baik setelah beberapa hari ia seakan-akan tidak memakianya. 'Haha' batin Anaya menertawakan niatnya.

Pukul 10 mungkin ia akan ke kantor untuk menemui bosnya, Indra, sambil memberikan laporan yang sudah menjadi tugasnya. Tangan Anaya terus menulis schedule yang akan ia lakukan hari ini, bahkan hingga sampai duduk di pesawat. Anaya berusaha fokus pada kegiatannya hari ini, tidak mengindahkan bulatan yang melingkar di jarinya. Anaya harus cukup kuat perihal ini.

Mata Anaya bersinar memandang hamparan awan yang seperti memerangkapnya di tengah langit yang biru, jarinya masih mengapit bulpoin yang setia dalam kepemilikannya, tidak seperti seseorang yang pernah ia anggap sangat berarti baginya. Lamunan Anaya kemudian tiba-tiba memudar saat sebuah tangan menyentuhnya ringan.

"Hai, Anaya ya?" Sapa suara itu dari belakang kursinya.

Anaya mengeryit, wajahnya tidak tampak asing bagi Anaya, seperti ia tahu betul siapa pria yang sedang duduk di sampingnya ini.

"Mas Arya?" Tanya Anaya seperti tidak percaya pada kebetulan yang ia alami.

"Eh iya! Masih ingat kamu sama aku?" tanyanya lagi pada Anaya.

"Tentu ingat lha mas! Mas apa kabar?" tanyanya kepada pria di sampingnya itu.

"Baik, kamu kok di sini? Beneran mau cerai ya?" tanya Arya yang benar-benar membelalakkan mata Anaya.

"Kaget? Fakhri semalam cerita, terpukul hebat dia Nay kamu tinggalin. Kamu serius?" tanya Arya lagi.

"Dia yang sudah memilih sendiri mas antara keluargaku dan keluarga perempuan itu" jawab Anaya dengan muram.

"Dia tahu kamu di sini?" tanya Arya lagi,

"Ya mas, aku balas chatnya agar bertemu dan diselesaikan di Jogja saja, toh awal semua kekacauan semua ini berawal dari sana" jelas Anaya.

"Sabar Nay, Fakhri memang aku akui dia salah. Mungkin aku kurang menjangkau dia sampai nasihatku sebelum melihatnya beristri dua ini tidak didengarkan olehnya, kemudian dia menyesal sendiri pada akhirnya, mungkin dia merasa semua hal akan mungkin jika dia berusaha soal ini" tutur Arya.

Anaya diam tanpa suara. Penjelasan dari Arya yang merupakan sahabat dari Fakhri seakan jelas memberikannya gambaran bagaiamana keadaan Fakhri semalam. Ya. Anaya akan benar-benar pergi dari kehidupan Fakhri.

"Nay" sebut Arya.

"Nay" sebut Arya lagi.

"Are you okay?" tanya Arya memastikan keadaan Anaya yang sepertinya tidak jauh berbeda dengan sahabatnya semalam.

"Kamu belum siap Nay, kenapa tidak berusaha menerima dulu, apalagi kamu sedang mengandung" imbuh Arya pada Anaya.

Anaya menggeleng.

"Aku ikhlas kok mas, Mas Fakhri dengan keluarganya di sana" kata Anaya."

"Mungkin kamu perlu ketemu Fakhri Nay" ujar Arya.

Diam. Anaya tidak lagi menggubris obrolan dengan Arya terkait dengan Fakhri.

"Nay, ingat gak, pas SMA dulu kita sempat boncengan? Aku sering anter jemput kamu pas ada acara sekolah?" Tanya Arya tiba-tiba.

Kesempatan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang