Lepas

11.9K 772 39
                                    

Malam masih memikat mata bening Anaya yang sedang menerawang jauh ke luar jendela mobil. Tangannya dibiarkan begitu saja memangku dagunya.

"Nay, yakin pulang?" tanya Tania.

"Ya kenapa? Sekalian biar kamu tahu rumahku kan, menginaplah beberapa hari di sana, temenin aku" jawab Anaya.

"Bukannya lebih cepat kalau kamu naik pesawat ya pulangnya dibanding sama mobil? Aku juga masih ada urusan di sini sama orang tuanya Cahyo.. Gak bisa nganter kamu sampai Jogja lah! Nanti aku pasti mampir deh ke rumahmu, entah kapan, hehe" kata Tania.

Diam. Tidak ada sahutan dari Anaya.

"Nay" panggil Tania.

"Ya... Okelah, anter aku ke hotel ini aja lha ya, aku pulang besok pagi." kata Anaya sambil menunjukkan nama hotel dan Tania hanya mengangguk, kemudian fokus pada kemudinya kembali.

"Terus, Nara?" tanya Tania. Dahi Anaya mengerut.

"Nara? Kenapa Nara?" Tanya Anaya, seakan-akan pertanyaan Tania tentang Nara itu aneh baginya.

"Lha, kamu sudah ngabarin belum kamu tuh lari dari suamimu? Terus pulang besok dari kota ini? Keputusanmu juga gimana ... Recommanded dah ya pokoknya suaminya si Nara tuh, mantap kalau lagi belain kliennya, harga juga pas." jelas Tania.

"Ih, apaan sih, cerewet deh kamu tuh, lagi suntuk banget aku." Anaya mulai sebal.

"Ya gimana dong, jangan sampek kamu tuh jadi gila ya. Diem-diem gitu terus dari tadi" kata Tania.

"Dijawab dong kalau aku tanya yee!, aku turunin dari mobil nih kalau gak mau jawab!" ancam Tania setelah omongannya dirasa tidak digubris oleh sahabatnya itu.

"Hufft, iyaa-iyaa.... Udah kok, aman. Aku udah bilang Nara juga, nanti mungkin dia sama suaminya mau ke hotel, ngurusin apa yang perlu diurusin aja biar cepat selesai." jelas Anaya.

"So?" tanya Tania.

"Jadi cerai?" lanjut Tania.

"Why not? Mungkin ini yang terbaik" jawab Anaya sekenanya.

======================

Jalan menuju hotel rasanya sangat lambat, kota kecil yang dulu sangatlah sederhana sekarang cukup banyak diwarnai dengan gedung-gedung besar. Mata Anaya terus menjelajah hingga tiba-tiba suara Tania megalihkan fokus Anaya.

"Masih kepikiran Fakhri?" tanya Tania.

"Bagaimana tidak? Aku sedang mengandung anaknya" Suara Anaya mulai serak. Anaya tidak bisa membohongi perasaannya, dia menyadari bahwa ada perasaan berat baginya untuk meninggalkan Fakhri.

"UDAHLAH NAY, BAGAIMANAPUN JUGA HUBUNGAN KALIAN GAK SEHAT. ANAKMU JUGA BAKALAN IKUT KAMU KOK, AKU YAKIN ITU. PENGADILAN GAK MUNGKIN JUGA NGASIH ANAKMU KE DIA DENGAN BACKGROUND EKONOMI DAN KELUARGA SEPERTI FAKHRI. MANUSIA GAK ADA YANG SEMPURNA, SAMA HALNYA DENGAN FAKHRI. DIA ITU MANUSIA, MEMAAFKAN MUNGKIN LANGKAH AWAL YANG BAIK LHO NAY BIAR KAMU TAHU KAMU ITU PINGINNYA PISAH ATAU NGGAK. CERAI JUGA GAK BAGUS LHO NAY. AKU PUN KALAU BOLEH MILIH, MUNGKIN JUGA GAK AKAN MILIH CERAI." URAI TANIA PANJANG LEBAR.

"Tapi keadaan membuatmu melakukannya kan?" tanya Anaya seakan langsung menohok luka di hati Tania. Tania adalah sahabat Anaya, sama dengannya dan Nara, Tania juga telah menikah, bahkan lebih dahulu daripada keduanya. Tania yang menikah dengan seorang berkewarganegaraan asing sebelumnya cukup bahagia, hingga perilaku serong suaminya terendus oleh Tania.

"Kita pada akhirnya harus memilih kan Nay, aku percaya semua akan indah pada waktunya. Kamu dulu pun seperti itu" tutur Tania.

"Apa saat ini kamu sedang bimbang, bisa hidup tanpa Fakhri atau tidak?" lanjut Tania.

Kesempatan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang