"Siapa lo?"
Sana masih saja diam di tempatnya, tidak memperdulikan Momo yang tengah menatapnya heran.
Terlihat tidak asing, dimana Momo pernah melihat warna rambut itu?
Tinggi badan dan juga kaos kaki yang dikenakannya membuat Momo tertegun. Pasalnya Ia juga memiliki kaos kaki yang sama, dan hanya satu orang yang juga memilikinya karena kaos kaki itu adalah kaos kaki couple.
"Sana?" Panggil Momo sedikit ragu sambil berjalan mendekat. Rambutnya masih sedikit basah.
Sana membalikkan badannya. Sedikit terkejut melihat Momo dengan wajah polos dan rambut basah. Gadis itu tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya kedepan.
"Hai, Mo. Apa kabar?"
Momo mengernyit tidak mengerti. Apa-apaan ini? Kenapa Sana terlihat sangat canggung kepadanya?
Kesal melihat sifat Sana, Momo akhirnya menepis tangan gadis itu kasar. Lalu memeluk kepala Sana di sela-sela ketiaknya. Satu tangannya yang bebas Momo gunakan untuk menjitak kepala Sana keras-keras.
"Aduh! Aduh! Sakit, ih. Jangan dijitak, bego!" Teriak Sana kesal sambil berusaha melepaskan kepalanya dari ketiak Momo.
"Rasain, tuh. Siapa suruh pake nanyain kabar, mana pake acara ngajak salaman lagi. Lo pikir gue ini siapa, hah?" Omel Momo sinis.
"Uh, ya maaf. Tapi ngga usah pake jitak-jitak kali. Aset gue nih." Ucap Sana masih setengah kesal.
"Semua yang ada di tubuh lo itu aset, bukan cuma kepala lo doang." Balas Momo.
"Tetep aja kan. Kalo gue ngga ada kepala, ya gue mati lah."
Ekspresi Momo berubah drastis setelah mendengar dua kata terakhir yang Sana ucapkan. "Jangan berani-berani lo ucapin kata itu di depan gue."
"Kata yang mana?" Tanya Sana tidak mengerti. Belum lagi nada suara yang Momo keluarkan, membuat Sana berhasil merendahkan suaranya.
"Terakhir kali lo ngucapin kata itu buat jawab pertanyaan Dahyun, beberapa minggu setelahnya lo bener-bener ngalamin hal itu."
Sana terdiam mendengar penjelasan Momo. Kata mana yang kira-kira Momo maksud sampai membuatnya terlihat marah seperti itu? Mungkinkah?
"Want to hug me, Momoring? Sorry for my word. I miss you so much."
Momo menatap Sana yang tengah membuka lebar-lebar kedua tangannya. Tanpa basa-basi, Momo segera memeluk Sana.
"How's your day? Did I miss a lot of something about you?" Bisik Sana, tepat ditelinga Momo.
Gadis itu enggan menjawab, hanya mengeratkan pelukan mereka.
Sana cukup tahu apa maksudnya. Tentu saja, Ia sudah melewatkan banyak sekali hal. Bukan hanya Momo, tapi juga mereka.
"Lo udah baikan?" Tanya Momo begitu pelukan mereka terlepas. Ia menarik Sana untuk duduk di sofa yang ada dikamarnya. Masa bodoh dengan barang-barang yang ada diatas sofa itu. Sana tahu betul siapa dirinya.
"Udah. Makasih buat buburnya, my fight partner." Jawab Sana, sedikit mengejek Momo dibagian akhir.
"Ngga usah ngejek. Mau ngajak ribut lagi?" Kesal Momo.
"Emang kita pernah akur?"
"Gue kangen."
"Semuanya baik-baik aja, kan?"
Pertanyaan Sana membuat Momo menghela nafas panjang. "Lo pasti tau, ngga ada yang baik-baik aja setelah hari itu. Semuanya- berantakan."
"Lo bener. Dia- juga berubah banyak."
"Dia?" Tanya Momo bingung.
"Mina."
"Lo udah ketemu dia?" Tanya Momo lagi, dengan terkejut.
"Udah. Dia keliatan kaya orang asing."
"Mina emang banyak berubah. Bukan cuma dari penampilan, tapi juga sifatnya."
"Gue tau. Dia nampar gue kemarin, dan itu cukup buat ngebuktiin seberapa banyak dia berubah."
"Apa?!" Teriak Momo tidak percaya.
Oh, ayolah. Mina paling anti berbuat kasar seperti itu, apalagi dengan Sana.
"Gue serius."
Momo tidak punya tanggapan lagi. Ia terlalu bingung. "Lo sendiri?"
"Maksud lo?"
Apa secepat itu Momo mengalihkan topik pembicaraan mereka?
"Luka itu-"
Sana mengangguk paham. "Bekasnya udah mulai ilang, tapi efeknya masih ada."
"Efek?"
"Ya. Gue kemaren sakit karena makan makanan kaleng."
"Sejak kapan lo punya semacam alergi sama makanan kaleng? Lo kan sering makan gituan sama gue, dan lo baik-baik aja tuh dulu."
"Itu kan dulu. Sekarang beda lagi. Sejak gue bangun waktu itu, gue harus jaga pola makan gue. Ngga boleh makan ini, ngga boleh makan itu, harus makan ini, harus makan itu."
"Jadi maksud lo, luka itu punya efek panjang buat lo?"
Sana mengangguk. Lagi. Ia menimbang-nimbang dalam hati, haruskah Ia mengatakan sesuatu yang lebih penting kepada Momo atau tidak?
"Iya. Dan, efek terburuk yang mungkin gue dapet nantinya adalah-"
Momo tertegun mendengar kata selanjutnya yang Sana bisikkan di telinganya, dengan suara pelan dan bergetar. Hatinya mencelos. Seolah-olah hal itu sudah benar-benar terjadi saat ini.
"Sana, please. Ngga usah bercanda. Jangan sampe gue nyelipin kata serius disetiap obrolan kita. Omongan lo ngga masuk diakal tau, ngga?"
Sana hanya tersenyum tipis. "Kita bakalan tau omongan gue yang ngga masuk diakal ini serius atau cuma sekedar candaan nanti."
"Apa hidup sesepele ini buat lo? Kenapa lo keliatan santai?" Sinis Momo.
"Terus gue harus ngapain? Marah? Ngga akan ada gunanya. Kalo aja marah bisa buat keadaan kembali seperti semula. Sama. Kaya sebelum semuanya terjadi. Mungkin gue udah jadi orang paling emosian didunia ini."
"Terus lo mau gimana?" Pasrah Momo.
"Kalo yang gue- kita takutin beneran kejadian, gue minta sama lo. Tolong. Tolong rahasiain ini dari mereka semua, kecuali Tzuyu. Ngga ada gunanya main rahasia sama Tzuyu soal gue." Pinta Sana memelas.
"Kenapa? Lo ngga percaya sama mereka?"
Entah kenapa Momo mendadak tidak mengerti dengan jalan pikiran Sana.
"Gue percaya sama mereka, tapi gue lebih percaya sama lo."
Kalau sudah melibatkan kata percaya, Momo tidak punya pilihan lain selain menuruti ucapan Sana.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kira-kira efek terburuk apa yang Sana bilang ke Momo ya?
Vote dan comment jangan lupa ya ;)Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Life Bg. 2 [ Complete ]
Fanfickenapa semua hal didunia ini, selalu ngingetin gue sama kalian? Disarankan untuk membaca Our life sebelum membaca Our life Bg. 2 ini.