6. Luapan Sedih

23.1K 3.8K 399
                                    

Bagian Enam

Ini tentang rindu yang tidak pernah berhenti
Dan tentang kamu yang tak kunjung peduli
Percayalah, bahwa aku sebenarnya menunggumu kembali
Datang ke sini dan tak pergi lagi...
Kamu tahu, rasanya ditinggalkan saat masih memiliki hati?
Menyakitkan, cukup aku saja, kamu tak perlu merasakan sakit ini.

bellazmr

-Senandi Rasa-

Berlin merasa udara di sekitarnya tinggal segenggam, sedikit yang membuatnya sulit bernapas. Dadanya turun naik seiring dengan tanah yang kini sudah menumpuk, meninggalkan jejak tubuh Anda yang terkubur damai di bawah sana. Mendung di wajah Berlin begitu ketara, bahkan tanpa suara sudut matanya menitikan air mata.

Papa pergi untuk selama-lamanya. Semalam.

Bahkan sebelum Berlin mengatakan bahwa ia sangat menyanyangi lelaki itu.

Sejak pagi, langit Jakarta terus-terusan menangis. Mungkin langit saja mengerti bahwa hari ini, dunia Berlin serasa runtuh. Beruntung, menjelang pukul tiga—waktu prosesi pemakaman papa di TPU Petamburan hanya dihiasi langit mendung. Kembali, langit mengerti untuk tidak merusak moment kali terakhir Berlin melihat papanya.

Berlin duduk berjongkok di sebelah Lian, mamanya.

Semenjak semalam bahkan sampai detik ini, tidak sedikitpun Berlin melihat mamanya menitikan air mata. Wanita itu setia memasang ekspresi datar, bahkan ketika sanak keluarga dari sebelah papa ataupun dirinya sendiri menangis dan turut berbela sungkawa, Lian tetap bisa menyembunyikan semuanya dibalik ekspresinya yang tak terbaca.

Kuburan di kelilingi oleh orang-orang yang mengenal papa, mama, atau bahkan Berlin. Mereka turut memberi bela sungkawa dengan menggenakan pakaian hitam, beberapa dari mereka menyembunyikan kesedihan lewat kaca mata hitam yang dikenakan. Berlin tidak melakukannya, ia tidak bisa melihat kalau tidak memakai kaca mata minus-nya.

Berbeda dengan Lian, ia tidak perlu repot-repot menggenakan kacamata untuk menyembunyikan kesedihan. Sebab, tak pernah ada air mata yang terjatuh dari wajah itu. Pun, ketika orang-orang memeluknya sambil menangis. Lian hanya diam dan masih bisa tersenyum tipis. Entah, Berlin tidak mengerti, terbuat dari apa hati mamanya hingga bisa sebeku itu.

Satu persatu orang meninggalkan makam.

Sebelum meninggalkan makam, kebanyakan orang menyempatkan diri menepuk pundak Berlin dan juga Lian, seolah memberi semangat untuk melanjutkan hidup.

Sejak tadi malam, saat papa dinyatakan meninggal. Lian sibuk mengursi banyak hal, mengenai pilihan ingin melakukan pemakaman atau kremasi saja. Pilihan menguburkan akhirnya dijatuhkan sebab dari aspek fengshui, menguburkan lebih baik dari mengremasi. Sebab katanya, menurut ilmu titik kubur, ketika seseorang dimakamkan itu artinya jasadnya akan membusuk dan tulang belulangnya akan menyatu kembali dengan tanah.

Berlin dan Lian menjadi dua orang terakhir yang tersisa di depan makam. Keduanya tidak bicara semenjak pagi. Berlin sibuk dengan kesedihannya, sedangkan Lian sibuk mengurusi segala hal mengenai pemakaman Anda. Suami yang sudah ia nikahi selama dua puluh dua tahun.

Tanpa mengatakan apapun, Lian bangkit dari posisi berjongkoknya.

Gerakan itu sempat membuat ujung mata Berlin melirik.

"Mama tunggu di mobil," kata Lian, wanita itu berangsur melangkah meninggalkan Berlin.

Namun beberapa langkah saat Lian mulai menjauh, Berlin ikut bangkit dan tergopoh-gopoh mengejar Lian. Ia melangkah dengan gerakan lebar melewati jalanan setapak dimana pohon-pohon kamboja menjadi payung di sisi kanan dan kiri.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang