[Bab tidak lengkap, untuk baca lengkap silakan ke Karya Karsa]
"Kalau ada satu hal yang ingin aku lakukan, itu adalah mempertahankanmu. Sayangnya, aku tidak bisa, entah karena keadaan atau karena takdir yang tak terelakkan."
Selama delapan belas tah...
Tenang, kemungkinan setelah ini updatenya jadi nggak terlalu lama lagi. Sebab outline Senandi Rasa sudah selesai aku buat. Jam 5 subuh setelah semalaman nggak tidur, bakalan banyak kejutan yang menanti kalian. Sepanjang bikin outline aku juga mencoba riset sana sini dan syukurlah... apa yang aku tulis sebelum bikin outline sudah cukup benar.
Yang perlu kalian ingat, Gerhana angkatan 2016 (Sama seperti aku sebenarnya, tapi sayangnya Gerhana sayang kampus dia januari 2020 masih berkutat sama magang dan BEM. Aku sudah jadi alumni sejak desember 2019 hehe.) Kalau Berlin, dia angkatan 2018. Jadi kalau diasumsikan, Gerhana semester delapan, Berlin semester empat. _____
Mungkin kita sedang berada di antara cinta segitiga, aku, kamu, dan Tuhan --Berlin
Senyum dan tawa bukan ukuran dari kebahagiaan seseorang. Menangis juga bukan ukuran untuk sebuah kesedihan. Ada yang tersenyum, tapi nyatanya hatinya sedang bersedih. Ada yang sedang menangis, namun ternyata dia bahagia. Semua kembali tergantung perasaan manusia itu sendiri--Gerhana.
Dikasih senyum dulu dari Berlin sebelum baca
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-Senandi Rasa-
"Ber, seharusnya lo jangan hujan-hujanan kayak gini. Ini muka lo pucet banget, lho."
Berlin menoleh sambil mengangkat senyum tipis, di hadapannya sosok yang tadi menghampirinya di makam terlihat menghela napas pendek. Lalu berangsur, mengulurkan handuk untuk Berlin.
"Maafin gue ya Sar. Gue jadi ngerepotin lo kayak gini." Berlin mengelap bagian tubuhnya yang kebasahan, sorot matanya terlihat tidak enak saat menatap Sari.
Merasa bahwa Berlin tidak nyaman, Sari mendekati dan duduk di tepian tempat tidur, bersebelahan dengan Berlin yang terlihat sangat kusut.
Sari mengusap bahu Berlin, mencoba menenangkan sahabatnya itu. Di hari pertama Sari kenal dengan Berlin, Sari sudah sangat kagum dengan perempuan berkaca mata itu. Selain pintar, Berlin punya sifat yang membuat orang-orang termasuk Sari merasa segan untuk mengorek-ngorek cerita kehidupannya. Entahlah, itu yang Sari rasakan.
Makanya ketika dia mengetahui sedikit kisah Berlin yang perempuan itu ceritakan saat mereka dalam perjalanan menuju indekos Sari, Sari akhirnya sadar bahwa memang terlalu banyak hal yang Berlin simpan sendirian.
"Sabar ya, Ber," kata Sari masih dengan tangan yang mengusap bahu Berlin.
Penilaian Sari satu-persatu mulai berubah ketika tahu jika Berlin bisa serapuh ini, Berlin tidak selihai yang Sari anggap. Perempuan itu masih sama seperti dia atau perempuan lainnya, yang bisa hancur ketika masalah silih berganti terjadi.
"Kalau ada apa-apa yang bisa gue bantu, please lo kasih tahu aja Ber. Gue dan Tania jelas pasti mau bantu lo, seandainya lo kasih kita kesempatan untuk tahu," ujar Sari. Dia merasa telah gagal menjadi teman dari Berlin, karena ia bahkan tidak tahu apa-apa kalau seandainya hari ini tidak terjadi. Dia bukan peramal yang bisa tahu semua hal, tanpa diberi tahu.