29. Emosi Terkendali

14.2K 2.9K 2K
                                    

Bagian Dua Puluh Sembilan

Karena yang mendekat, belum tentu akan menetap—Berlin

Bagaimana rasanya melihat seseorang yang sealu ada untukmu, sekarang menganggapmu bukan siapa-siapa. Sakit bukan? Iya? itu rasaku dulu—Gerhana fo K

Numpang lewat dulu.

Berlin Ghazefa Lifen Soekotjo mengatakan, HAPPY READING ALL!

Berlin Ghazefa Lifen Soekotjo mengatakan, HAPPY READING ALL!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


-Senandi Rasa-

"Kenapa lewat sini? Di sini emang surganya buaya Teknik."

Pertanyaan itu membuat Berlin mengerjap bahkan secara langsung menghindar untuk dirangkul dari orang tersebut.

"Eh, sorry," kata orang itu. "Gue tadi cuma ngelihat lo jalan sendirian digodain oleh anak-anak Teknik. Karena gue lumayan kenal sama beberapa dari mereka, makanya gue bantuin lo. Lo masih ingat gue kan?" Orang itu tersenyum.

Berlin belum menjawab.

"Gue Kayana. Itu lho yang pernah lo datangin pas sidang, gue masih ingat sama lo. Gebetannya Randi, kan?" Kayana masih tersenyum lebar, sedangkan Berlin tidak tahu harus berbuat apa.

Mana bisa Berlin melupakan Kayana, jelas ia masih mengingatnya. Hanya saja dia terlalu kaget, karena Kayana baru saja menolongnya.

Sebab Berlin masih diam, Kayana jadi bicara lagi. "Lo bukannya anak Kedokteran ya, ke Teknik mau ngapain?"

Jujur, Berlin tidak suka ditanyai seperti ini. Apalagi oleh orang yang tidak terlalu dekat dengannya, bukan urusan Kayana untuk bertanya.

Melihat lagi dan lagi Berlin hanya diam, Kayana bicara sambil meringis. "Duh gue kepo banget ya, jadi bikin lo nggak nyaman. Maaf ya Berlin. Eh benar kan, Berlin? Gue tahu itu dari Randi. Randi sering cerita tentang lo."

Berlin meringis kecil. Dari tadi, bahkan sejak mereka bertemu, Berlin sama sekali tidak bicara. Yang terus-terusan bicara adalah Kayana. Manik mata Berlin memerhatikan Kayana, perempuan itu menenteng kantung yang berisi banyak map, sedangkan dia sendiri hanya memakai tas selempang kecil.

Tahu bahwa dirinya diperhatikan, Kayana terkekeh.

"Lagi ngurus yudisium sama wisuda, maklum ...." Kayana menunjuk map yang dia pegang. "Ribet banget, gue sebenarnya habis fotokopi berkas di Teknik. Tempat fotokopi di Fakultas gue keburu tutup." Barulah Berlin sadar bahwa ternyata Fakultas Kayana dan Gerhana bersebrangan, Teknik dan Ilmu Budaya. Pantas saja dia bisa bertemu Kayana di sini.

"Oh, iya Kak." Karena merasa tidak enak Berlin akhirnya bersuara. "Makasih ya Kak, sudah nolongin gue."

Kayana mengangguk, masih dengan senyum lebar yang tercetak di wajahnya. "Nggak masalah. Cuma lain kali kalau sudah jam seperti ini, mending jangan lewat sini. Apalagi kalau banyak anak Teknik yang lagi main di lapangan, biasanya bisa digodain."

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang