10. Jakarta Dini Hari

22.9K 3.8K 463
                                    

Bagian Sepuluh

17+ (Buat yang di bawah umur, diskip aja babnya)

Karena siapa tahu, berbekal rasa kehilangan... kita malah saling menemukan

-Senandi Rasa-

Taman Lapangan Banteng sore ini tidak terlalu ramai. Mungkin dikarenakan hari ini masih hari senin, ditambah gerimis yang sejak pukul dua tadi mengguyur Jakarta, kombinasi itu rasanya cocok membuat taman yang menjadi favorit banyak orang untuk jogging menjadi sepi.

Berlin menarik napas panjang, matanya mendongak ke atas, memperhatikan tetesan air yang berjatuhan satu demi persatu dari dedaunan. Tanpa suara, Berlin mengatur napas, berusaha melapangkan rongga dadanya sebesar mungkin.

Hari ini, ia bolos kuliah. Berlin juga tidak menghubungi siapapun, baik itu Bang Randi, Sari, bahkan Tania. Ia lebih memilih untuk menikmati semua kesedihannya sendiri. Dimulai dari berkeliling Kota Tua di siang hari, sampai sekarang kini ia malah berada di Taman yang terkenal dengan sebuah patung tinggi di tengah-tengah taman, patung yang merupakan symbol dari pembebesan Irian Barat.

Matahari yang sejak siang tadi memang sudah ditutupi awan, tampaknya benar-benar mulai sudah turun ke peraduan. Langit kian gelap ketika sayup-sayup Berlin mendengar bunyi azan.

Berlin memang bukan muslim, tapi sejak kecil ia selalu berada di lingkungan yang mayoritas muslim. Ia sedikit paham mengenai agama itu, seperti mengucapkan salam dengan ucapan "Assalamualaikum", sholat 5 waktu, bahkan ibadah tidak makan dan tidak minum selama satu bulan penuh.

Lantunan azan, penanda sholat magrib bagi umat muslim itu terdengar begitu menenangkan bagi Berlin yang seharian ini sangat kacau. Meksipun tidak tahu apapun mengenai makna lantunan itu, Berlin membisu selama lantunan azan yang datang bersahut-sahutan dari berbagai masjid di dekat taman tersebut. Rasanya, Berlin seperti dipeluk Tuhan untuk beberapa menit.

Setelah lantunan itu tidak terdengar, Berlin membuka matanya.

Orang-orang yang berada di taman, satu-persatu mulai meninggalkan taman tersebut. Namun Berlin tidak bergeming dari kursi panjang tersebut, ia masih setia duduk sambil menatap ke sekelilingnya. Kosong dan hampa, perasaan itu datang menyergap dirinya. Berlin bahkan bingung, mengenai apa yang selama ini ia cari...

Selalu jadi yang pertama.

Selalu menjadi juara.

Nyatanya tidak cukup untuk membuat seseorang bahagia.

Senyum miris terukir di wajah Berlin yang sepanjang hari ini kusut, bahkan ia sama sekali tidak menggenakan make up apapun. Meskipun memang dirinya bukan perempuan yang selalu on make up dan touch up di beberapa kesempatan, Berlin tetaplah perempuan yang sadar penampilan. Tapi tidak hari ini.

Sampai pukul delapan malam, Berlin berada di Taman Menteng tersebut, berjalan mengitari taman sampai berhenti di rumah kaca yang merupakan Green House-nya Taman Menteng.

Berlin berdiri di depan pintu masuk taman kaca, lantas menyandarkan punggungnya pada salah satu kaca. Dari tempatnya, ia dapat melihat cahaya bersinar yang cukup memukau dari rumah kaca tersebut. Berlin belum pernah ke taman ini sebelumnya, aktifitasnya yang padat selama menjadi mahasiswa kedokteran, belum lag ditambah himpunan mahasiswa jelas membuat Berlin tidak punya waktu luang untuk sekadar bersantai seperti ini.

Kadang kalau Berlin pikir-pikir, selama ini dia belum pernah sekalipun membuat dirinya beristirahat... selalu saja berlari mengejar mimpi, hingga Berlin lupa bahwa selain mimpi, harus ada sesuatu yang juga Berlin lakukan. Membahagiakan diri sendiri.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang