Bagian Tiga Puluh Empat
Rasa sukanya masih ada, rasa ingin memilikinya yang sudah tidak ada-X
Karena pada dasarnya, wujud dari mencintai yang paling murni adalah memberi tanpa mengharap kembali-Berlin
-Senandi Rasa-
Menjelang matahari terbenam, Berlin menyelesaikan kegiatan ibadah misa mingguan yang kali ini mengambil jadwal di sabtu sore. Berlin merupakan jemaah terdaftar di Gereja Maria Bunda Karmel yang jaraknya hanya tiga kilometer dari kompleks perumahannya.
"Atas nama bapa," tangan kanan Berlin menyentuh dahinya dengan mata memejam. "Putera." Lalu tangan itu turun ke dada, "Dan roh kudus." Lantas, dia menyentuh bahu sebelah kiri dan kanan dan mengakhiri dengan ucapan amin, ritual tanda salib dengan diringin pengucapan rumusan Tritunggal Kudus. Bersamaan dengan jemaah lainnya yang ikut beribadah sore itu.
Iman berseru di depan altar. "Marilah pergi kita diutus."
Semua umat, termasuk Berlin yang berada di barisan ketiga menyahut. "Amin." Tak lupa, dia berlutut di tempatnya sendiri, ini sebagai bentuk dari perutusan, konsekunsi dari seluruh perayaan misa harian ini.
Dan ibadah misa berakhir setelah seluruh umat gereja memberi hormat kepada altar, iman, dan para pelayan. Lalu, satu persatu bergerak meninggalkan ruang altar. Berlin sendiri setelah memberi hormat, memilih untuk kembali duduk pada bangku gereja, tempatnya tadi. Dia ingin memberi doa kepada Bunda Maria.
Berlin kembali berlutut dengan kedua tangan terkepal menyatu di depan dada. Tak lupa Rosario yang ia genggam di kepalan itu. Punggungnya lurus dengan kepala tegak menatap patung Bunda Maria. Sekali lagi, dia mengawali Salam Maria dengan ucapan, "Dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus." Diiringi gerakan seperti tadi.
Lukas 1:28 dibacakan Berlin dengan suara rendah, firman itu adalah salam malaikat Gabriel saat menemui Bunda Maria, wanita pilihan Tuhan.
"Terpujilah Engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu Yesus." Lukas 1 :42 diakhiri dengan Timotius 2:1-5, setelah doa-doa itu Berlin panjatkan, barulah ia mendoakan khusus untuk dirinya, keselamatannya, jalan hidupnya, dan paling terpenting adalah tentang mamanya.
"Tuhan yang Maha Baik, jagalah selalu mama di manapun mama berada."
Menarik napas dalam, Berlin menutup doa khususnya itu dengan kembali membuat tanda salib yang merupakan permulaan dan akhir dari setiap doa, ibadat, dan misa pada agama Katolik. Setelah benar-benar selesai, akhirnya Berlin melangkah meninggalkan ruang Gereja. Namun gerakannya sejenak berhenti ketika melihat imam yang tadi memimpin ibadah masih berada di dalam ruangan. Berlin mendekat.
"Romo Agung." Itu adalah panggilan yang sudah lekat kepada imam gereja.
Romo Agung mengangguk, dia mengingat Berlin karena satu tahun lalu dialah yang membantu Berlin dalam melakukan Sakramen Krisma, umat Gereja Katolik menyebutnya sebagai penyempurna bagi umat yang menjadi lebih dewasa atau minimal di atas empat belas tahun. Tapi Berlin baru melakukannya setelah dia genap berusia delapan belas tahun.
"Berlin, apa kabar?"
Berlin tersenyum, senang lelaki berusia sekitar lima puluhan yang merupakan imam bisa mengingatnya. "Baik, Romo. Romo bagaimana?"
"Baik juga, habis mengikuti misa harian?"
Berlin menganggukan kepala. Misa harian memang tidak seramai misa kudus, di hari besok.
"Mama dan papa apa kabar?"
Berlin terdiam sesaat, kemudian senyum tidak enaknya membuat Romo Agung menjadi bingung. "Berlin," panggilnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandi Rasa
Ficção Adolescente[Bab tidak lengkap, untuk baca lengkap silakan ke Karya Karsa] "Kalau ada satu hal yang ingin aku lakukan, itu adalah mempertahankanmu. Sayangnya, aku tidak bisa, entah karena keadaan atau karena takdir yang tak terelakkan." Selama delapan belas tah...