Bagian Dua Puluh
Sebagian orang jatuh cinta di hari ini, tanpa tahu bahwa luka mungkin akan hadir di hari selanjutnya setelah cinta itu ada—Gerhana
Rasa itu hadir dengan sendirinya, bahkan tanpa memandang siapa Tuhan tempatmu berdoa—Berlin
-Senandi Rasa-
Tiga puluh Desember, hari terakhir di tahun 2019. Hari terakhir juga, Berlin dan Gerhana menikmati kota Bandung.
Menurut Berlin, ini adalah pelarian tergila yang pernah ia lakukan. Satu minggu pergi dari Jakarta dan memberi jeda dari gemelut kehidupannya. Berlin merasa, keputusannya untuk menerima ajakan Gerhana yang awalnya dipikirnya gila adalah pilihan benar.
Meskipun Gerhana kadang menyebalkan, bertindak semaunya, dan keras kepala. Berlin seolah melihat dirinya pada diri Gerhana. Lelaki itu adalah dia dalam bentuk yang berbeda. Berlin tidak berbohong mengenai itu.
Berlin menarik napas dalam-dalam, ia menikmati suasana Lembang dari Lereng Anteng Panoramic Coffe Place—tempat yang dipilihkan Gerhana untuk menikmati sore ini. Langit berawan, mendung mengguyur sejak tadi siang, menambah kesan sejuk kawasan Lembang.
Telapak tangan Berlin mengusap-usap lengannya yang mulai kedinginan, maklum mendung-mendung seperti ini, dia malah memakai kaus lengan pendek. Ditambah suasana café yang outdoor, untung saja tempat duduknya diberi atap, kalau tidak sudah kebasahan Berlin sekarang.
Pandangan mata Berlin masih mengarah pada pemandangan di hadapannya, saat tiba-tiba dari arah samping. Seseorang menaruh topi di puncak kepalanya.
Berlin mendongak, Gerhana masih berdiri di sebelahnya.
"Udah gue bilang pakai jaket, masih ngeyel ditinggal di mobil."
Berlin mendengkus. Ia mencoba melepas topi yang dipakaikan Gerhana. Belum sempat Berlin melepaskannya, Gerhana malah menumpuk topi tersebut dengan topi berbahan bulu yang ikut dibawanya.
"Lucu juga," kekeh Gerhana.
"Apa sih?" Berlin mencoba melepaskan topi bulu tersebut.
Tangan Gerhana cekatan menghalangi Berlin, "Jangan dilepas. Lucu banget."
Berlin menepis, masih berusaha menghalangi.
"Jangan Bey, udah biarin aja."
Berlin tetap berusaha awalnya. Tapi melihat Gerhana kukuh menyuruhnya untuk tetap memakai topi bulu tersebut, akhirnya Berlin mengalah. Ya... untung saja tempat ini tidak begitu ramai sekarang, mungkin karena belum malam.
"Dapet ginian darimana?" tanya Berlin, saat mengatakan itu Berlin sedang membuka kamera depan handphone-nya. Memeriksa penampilannya
"Tadi di depan mushola ada anak kecil keliling jualan itu, karena gue kasian, ya udah gue beli aja," balas Gerhana.
Gerhana ikut mengeluarkan handphone, melakukan hal yang sama dengan Berlin. Tampak Gerhana menyugar belahan rambutnya yang terlihat basah, entah karena terkena gerimis hujan atau air wudhu.
Tadi memang setelah mereka sampai di Lereng Anteng, Gerhan pergi sebentar untuk sholat Ashar. Berhari-hari bersama Gerhana, Berlin paling tahu mengenai kebiasaan lelaki itu, ya... meskipun hobi membuatnya kesal, Gerhana bisa dibilang lelaki yang taat beribadah.
Seingat Berlin, Belum pernah sekalipun selama seminggu ini, Gerhana melewatkan sholat wajib. Bahkan beberapa kali, sebelum jam sholat masuk, Gerhana sudah berhenti dulu entah itu di mushola atau masjid terdekat untuk sholat berjamaah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandi Rasa
Teen Fiction[Bab tidak lengkap, untuk baca lengkap silakan ke Karya Karsa] "Kalau ada satu hal yang ingin aku lakukan, itu adalah mempertahankanmu. Sayangnya, aku tidak bisa, entah karena keadaan atau karena takdir yang tak terelakkan." Selama delapan belas tah...