Bagian Tiga Belas
Teruntuk Dia, Gerhana dalam hidupku.
Terima kasih karena sempat singgah, walaupun kini yang tersisa hanya sebatas patah.
—Bellazmr—-Senandi Rasa-
Berlin terbangun ketika jarum pendek jam menghimpit pada angka sepuluh. Tubuhnya merasa lebih segar sekarang, mungkin karena semalam untuk kali pertama setelah semua kesedihan yang ia lalui. Berlin mampu tertidur lelap, tanpa takut memikirkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi esok hari.
Beranjak dari tempat tidurnya, Berlin melirik bekas plastik dan wadah makanan kosong yang Gerhana beli untuknya semalam. Berlin terpaku selama beberapa saat, merasa ada sesuatu yang mendadak terasa aneh di waktu yang bersamaan.
Keluar dari kamar, pemandangan seorang laki-laki yang menyelimuti dirinya sendiri dengan kemeja yang semalam dipakainya. Dalam tidurnya, lelaki itu—Gerhana Sabrang Assegaf terlihat begitu tenang.
Selama beberapa menit memperhatikan, Berlin akhirnya berjalan mendekat. Langkahnya menapak lamban melewati ruang tengah rumahnya yang sangat berantakan. Semenjak malam pertengkaran dengan mama, Berlin memang tidak berniat sama sekali untuk merapikan rumah itu.
Barang-barang berserakan di lantai, pun dengan pecahan keramik dan beling dari kekacauan yang Berlin buat.
Sebenarnya Berlin selalu saja memakai sandal ketika melewati ruang tengah, takut jika pecahan keramik itu mengenai kakinya. Sayangnya siang ini, ia lupa mengenakan sandal. Sehingga tanpa sengaja, kakinya menginjak pecahan beling tersebut.
Kontan karena kaget, Berlin refleks memekik.
Pekikan itu berhasil membuat Gerhana terbangun kaget dan pandangannya langsung berputar mencari sumber suara.
Berlin yang meringis di dekat meja tak jauh dari Gerhana menyambut manik mata Gerhana ketika mencari sumber suara. Langsung saja, lelaki itu bangun dan berjalan cepat ke arah Berlin.
"Gimana sih lo. Udah tahu rumah penuh beling kayak gini malah jalan cuma pakai kaki." Kalimat Gerhana membuat Berlin menoleh, cara bicara lelaki itu seolah kembali seperti Gerhana sebelum dan sebelumnya, meskipun sekarang agak lebih cerewet.
Berlin cuma diam saat Gerhana membimbingnya untuk duduk di sofa. Sedangkan Gerhana berjongkok di bawah Berlin, tangannya cekatan menaruh kaki Berlin yang terluka di pangkuannya. Tanpa bicara, lelaki itu mengecek luka Berlin.
Dua menit kemudian Gerhana menurunkan kaki Berlin dari pangkuannya. "Gini doang nggak akan sakitlah ya, cuma goresan kecil. Nggak akan sampai amputasi," ujar Gerhana santai. Dia kemudian ikut duduk di sofa, bersebelahan dengan Berlin. Lelaki itu meringis ketika menatap ke seputaran rumah Berlin. "Lo bisa hidup ya di rumah super berantakan kayak gini?"
"Menurut lo?"
"Seminggu lagi lo tinggal di sini, gue yakin nggak cuma kaki lo yang luka."
Berlin berdecak. Sepertinya sekalipun semalam keduanya sudah memutuskan untuk mencoba, Berlin belum menemukan sisi yang sebenarnya pantas membuat mereka bersanding. Mereka berdua sama-sama keras kepala, individualisme, dan terlalu banyak hal lainnya yang masih Berlin pikirin.
"Ini juga kalau manggil go clean, mana mau mereka," komentar Gerhana lagi.
Gerhana memang pendiam, tapi kalau bicara... Gerhana lama-lama mirip Tania dan Sari kalau lagi berghibah. Itu yang Berlin tangkap setelah mengenal Gerhana.
Ketika Berlin masih sibuk dengan pikirannya, Gerhana tiba-tiba saja berdiri dari tempat duduknya, lantas menghilang selama beberapa menit sebelum akhirnya kembali dengan sekop dan sapu di kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandi Rasa
Teen Fiction[Bab tidak lengkap, untuk baca lengkap silakan ke Karya Karsa] "Kalau ada satu hal yang ingin aku lakukan, itu adalah mempertahankanmu. Sayangnya, aku tidak bisa, entah karena keadaan atau karena takdir yang tak terelakkan." Selama delapan belas tah...