46. Titik Terendah

12.6K 2.9K 10.3K
                                    

BAGIAN EMPAT PULUH ENAM

Karena pada akhirnya, aku dan kamu hanyalah sebatas kata kita yang tak akan pernah menjadi apa-apa dan siapa-siapa-Gerhana

Terkadang banyak rasa bermulai tanpa sebuah aba-aba, tapi untuk mengakhirinya pasti selalu dimulai dengan kecewa-Berlin

Kamu butuh tissu? Empat belas bab menuju sebuah perpisahan.

-Senandi Rasa-

Ada banyak ucapan selamat yang diterima Berlin setelah kemenangannya di lomba essai dipublish secara resmi pada website serta semua akun media sosial Universitas Indonesia. Beberapa orang yang mengenal dan tidak sengaja bertatap muka dengannya pasti akan selalu mengucapkan selamat.

Kali kedua, Berlin kembali menjadi terkenal di kampusnya, tapi kali ini berbeda. Dia terkenal bukan karena menjadi pacar Gerhana, melainkan dirinya sendiri.

Prestasi Berlin berhasil membuat semua orang yang tadi meremehkannya sebagai perempuan yang dipacari Gerhana menjadi tutup mulut. Kini, mereka tidak lagi sibuk mengorek sosok seperti apa Berlin itu. Cukup dengan mengetahui bahwa Berlin berhasil menang lomba tingkat nasional, sudah cukup membuat mereka terdiam.

Gosip membandingkan dengan Kayana yang sempat masuk ke telinganya juga perlahan menghilang.

Jujur, sebenarnya sejak awal hubungannya dan Gerhana diketahui oleh orang lain, Berlin tidak terlalu ambil pusing meskipun jujur ... dia tidak menginginkan ini semua, baginya cukup dia dan Gerhana saja, sudah cukup. Tidak perlu pengakuan orang lain.

"Lo jadi?" Tania bertanya, setelah yang Berlin lakukan tadi hanyalah menatap pohon-pohon di hadapannya.

"Hah?"

"Katanya mau ke RSJ buat ngasih bingkisan ke dokter yang sudah bantuin data essai lo, jadi nggak?"

Berlin menyengir tipis tipis. "Jadi."

"Sorry ya gue nggak bisa nganter," kata Tania.

"Santai, Tan. Gue naik ojek aja nanti, gampang kok. Lo fokus aja sama praktikum perbaikan nanti ya. Gue yakin, lo bisa."

Tania menghela napas pendek. Hubungannya, Tania, serta Sari memang menjadi lebih terbuka sejak mereka mulai sadar jika selama ini ada yang salah pada pertemanan mereka. Sayang sekali akhir-akhir ini, Sari selalu sibuk dengan urusan BEM kampus, makanya hanya dia dan Tania saja yang jadi sering bertemu.

"Mau cabut jam berapa emangnya?"

"Bentar lagi," jawab Berlin. "Lo masih lama atau nggak?"

"Nggak tahu nih, katanya jam satu." Matanya sempat melirik ke arah ruang kelas yang berada di seberangan kami, entah kenapa dia terus saja berulang kali menatap kelas itu. Bahkan gara-gara itu juga, kami duduk tepat di kursi panjang yang berada di ruang kelas tersebut.

"Lo nyari siapa, Tan?"

"Hah?" Gantian, kini dirinya terlihat sadar bahwa sejak tadi Berlin terus memperhatikannya.

Tania menyengir tipis, tangannya menggaruk tengkuk, gesturnya ketika sedang gugup. "Oh, nggak." Tapi tetap matanya melihat ke pintu kelas yang tertutup itu, kelas Neurologi, sebenarnya mereka juga mengambil mata kuliah tersebut, karena termasuk dalam mata kuliah wajib pada blok ini, sayangnya jadwal mereka berbeda.

Berlin memperhatikan Tania, akhir-akhir ini, ketika berada di lingkungan kampus, Berlin sering sekali memergoki jika mata Tania sedang mencari sesuatu. Tapi entahlah, sampai detik ini Berlin belum tahu itu siapa. Dan meskipun hubungan mereka sudah lebih baik, Berlin selalu sadar diri untuk tidak mencampuri urusan Tania, jika Tania tidak membuka terlebih dahulu tentang hal tersebut.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang