40. Hanya Pembalasan

18.2K 3K 2.2K
                                    

Bagian Empat Puluh

Gaes mau tanya, kalian kangen nggak sih sama cerita Teenlit aku? Jujur aku kangen banget, tapi kemaren pas nulis Redup malah vakum lama. Kangen nggak kangen nggak?

Kalau ada cerita Bahrain tertarik nggak?

Bentar-bentar ... sneekpeek Bahrain dulu nih

 sneekpeek Bahrain dulu nih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

AYO RAMEIN KOMEN

__

Terkadang bersaing dengan perasaan sendiri adalah yang paling sulit, ketimbang bersaing dengan orang lain-Sari

Tidak semua orang bisa mendekapmu ketika jatuh, karena itu kamu harus siap untuk bangkit sendiri-Tania

-Senandi Rasa-

"Ayo, Bey." Tangan Gerhana menyentuh bahu Berlin, membimbing perempuan itu untuk melangkah masuk. Sejenak Berlin memilih untuk menahan Gerhana meneruskan langkah, dia ragu, karena ini kali pertama ia datang ke rumah Gerhana.

Rumah Gerhana jauh dikategorikan sebuah rumah, ini malah lebih mirip sebuah istana. Rumah tiga lantai dengan pepohonan rindang, kolam air mancur di depan, juga garasi mobil dengan beberapa deret mobil mewah terparkir di sana.

Berlin bahkan berulang kali menyadarkan dirinya, bahwa lelaki yang sedang berada di sebelahnya ini adalah pacarnya. Sekali lagi, pacarnya!

Masuk ke dalam, penampilan dalamnya jelas tidak kalah dengan luar. Beberapa hiasan dengan ukiran tulisan arab berwarna emas timbul dipajang di beberapa sisi-berbeda dengan rumahnya yang dihiasi salib besar untuk ia pandangi ketika berdoa.

Ada juga beberapa guci keramik setinggi badannya, membuat Berlin semakin merinding. Dirinya dan Gerhana memang seperti langit dan bumi.

Hingga langkah Berlin berhenti pada satu bingkai dengan seorang pria bersobran, jangut tebal, dan pakaian putih panjang yang dilukis sedang duduk dengan tongkat di sebelah kanan.

Gerhana yang tahu bahwa Berlin sedang terpaku menatap lukisan bersar itu, ikut berdiri di sebelah Berlin.

"Kakek buyut gue."

"Pendiri usaha Assegaf?" balas Berlin, berusaha menebak.

Gerhana mengangguk.

Berlin menghela napas, lalu menatap wajah Gerhana dari samping, karena lelaki itu masih terlihat memandang lukisan kakek buyutnya.

"Ger." Suara Berlin terdengar pelan, Gerhana mengangguk tanpa menegok.

"Di keluarga lo, apa ada yang akhirnya bersama dengan orang di luar lingkungan keluarga lo?"

Pertanyaan Berlin berhasil membuat Gerhana menengok.

"Gimana Bey?"

Bibir Berlin terangkat untuk menyampirkan senyum tipis, kepalanya menggeleng, dia memilih berbalik untuk melangkah ke arah lain. Baru tiga langkah dia beranjak, seekor kucing berbulu tebal tampak berlarian menuju ke arahnya. Sontak melihat itu, Berlin berjongkok untuk menangkap si kucing.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang