17. Panggilan Tidak Terjawab

20.9K 3.3K 1.1K
                                    

Bagian Tujuh Belas

Oke, karena mungkin kebanyakan pembaca tidak tahu maksud dari judul yaitu "Senandi Rasa." Mari saya jabarkan sebentar, "Senandi" sebenarnya tidak ada di KBBI, yang ada di kbbi adalah kata "Senandika" yang diartikan sebagai wacana seorang tokoh dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaannya. Saya sengaja memenggal kata "Ka" karena agak menjanggal saja. Dan dimaksudkan karena saya punya dua arti dalam judul ini.

1.     Senandi Rasa : Wacana tokoh dengan dirinya sendiri dalam mengungkapkan perasaan-perasaannya.
2.     Senandi Rasa (Dibaca senan-di-rasa) sehingga dimaksudkan senang di rasa. Perasaaan senang.

Yah, kira-kira begitulah filosofi judul cerita ini. Meskipun kayaknya cerita ini dari judul ada kata senang.... Sepertinya. Saya pengin nyiksa tokoh habis-habisan.

___

Semua itu dimulai dari kata "Terbiasa" yang lama lama akan menjadi kalimat "Sesuatu yang sulit untuk dihilangkan dan akan selalu dicari ketika tidak ada" —Berlin

Aku hanya takut bahwa melihat dan berbicara denganmu akan berubah menjadi candu—Gerhana

-Senandi Rasa-

"Den Gerhana mau makan malam apa?"

Ekor mata Gerhana melirik pada Bibi Eci, asisten rumah tangga yang sudah bekerja bersama keluarganya sejak dia masih berseragam putih merah. Wanita itu menyungingkan senyum hangat, satu-satunya senyum yang membuat Gerhana merasa lebih menjadi manusia saat berada di rumah.

Gerhana menggeleng tipis, "Nggak usah, Bi. Bibi istirhat aja." Gerhana turun dari atas bar stools yang sejak tadi ia tempati. Tangannya tersampir di bahu Bi Eci, mendorong pelan wanita itu agar segera berlalu. "Pasti bibi capek kan udah kerja seharian, ini Gerhana pijetin."

Tangan Gerhana mulai bergerak memijat-mijat bahu Bi Eci. Dua belas tahun bersama, Gerhana begitu menyayagi Bi Eci. Mereka seolah dipertemukan oleh takdir, Bi Eci yang menjanda tanpa anak dan Gerhana—ah entahlah, bagaimana Gerhana menerangkan dirinya.

"Den," Bi Eci berusaha melepaskan tangan Gerhana yang terus lincah memijit Bi Eci.

"Nanti ya Bi, kalau ditanya malaikat. Bilang Gerhana anak baik ya, Bi," kekeh Gerhana dengan sebelah mata mengedip.

Bi Eci cuma geleng-geleng kepala. Ia mengerti betul bagaimana karakter anak majikannya itu, meskipun cenderung menutup diri dengan segala urusannya di luar rumah, Gerhana sebenarnya bukan orang yang sulit untuk diajak bercanda. Lelaki itu seolah punya banyak cara untuk menyenangkan orang lain di sekitarnya, meskipun tidak semua orang bisa merasakan itu. Tapi, Bi Eci bersyukur bahwa dia salah satu di antaranya.

Mereka berjalan seperti gerebong kereta. Bi Eci di depan sedangkan Gerhana mengikuti di belakang, dengan tangan tersampir di pundak. Gerhana mengajak Bi Eci untuk berpindah ke ruang keluarga. Ia juga sempat menghidupkan televisi.

"Itu yang pelit banget di antara geng mereka siapa sih, Bi?" tanya Gerhana menunjuk.

"Dadang, Den."

"Kalau yang itu, ngeselin banget dari tadi lemot?"

"Oh itu, Idoy namanya Den."

Kepala Gerhana terangguk. Matanya masih menatap lurus ke depan, mengikuti setiap adegan dari sinetron ratusan episode yang sepertinya menjadi tontonan favorit Bi Eci.

Meskipun Gerhana tidak terlalu paham, karena ia agak jarang nonton berdua dengan Bi Eci seperti ini. Apalagi semenjak kuliah. Kalau dulu, ketika masih SMA, Gerhana dan Bi Eci adalah penikmat setia Tukang Bubur Naik Haji. Bahkan tampaknya, semua jadwal sinetron Gerhana hapal.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang