15. Sebagian dari Rencana

29.1K 3.8K 675
                                    

Bagian Lima Belas

Bukankah setiap yang menyapa akan meninggalkan kita juga?—Berlin Ghazefa Lifen Soekotjo

Memang ada hal yang harus dimaafkan, sekalipun belum ada permintaan maaf. Kamu tahu kenapa itu harus dilakukan? Sederhana, biar kamu tidak terus-terusan larut dalam kekecewaan sendirian—Gerhana Sabrang Assegaf.

-Senandi Rasa-

Sudah hampir enam belas menit terhitung semenjak mereka bertiga keluar dari kelas Ujian Akhir Semester dua mata kuliah hari ini dan berarti sudah hampir enam belas menit juga, Tania menggerutu pasal soal ujian yang banyak tidak ia ketahui jawabannya apa.

Berlin sepanjang gerutuan itu hanya diam, sesekali menanggapi ketika Tania menodong dirinya untuk menjawab beberapa hal. Selebihnya, Berlin diam. Dia sibuk mengamati daun-daun yang berguguran dari pohon Palem.

Pohon Palem merupakan tanaman yang paling banyak dijumpai di tempat-tempat umum, seperti kampu. Menurut beberapa penelitian, tanaman ini menjadi yang paling cocok ditanam di Daerah Jakarta, karena  bisa beradaptasi dengan baik pada suhu tinggi dan tidak perlu perawatan khusus.

"Sumpah ya, gue nggak ngerti kenapa harus pertanyaan itu yang keluar. Semalaman gue belajar, bablas karena apa yang gue pelajari, kagak ada yang masuk," umpat Tania.

Sari menganggukan kepala, menyetujui apa yang dikatakan Tania.

"Gue siap remed deh," balasnya.

"Argh!" Tania mulai jengah, ketika itu matanya tidak sengaja melirik Berlin yang terpaku menatap pohon yang berada di sebelah bangku tempat mereka duduk. "Lin, lo kejawab semua?"

Pertanyaan itu membuat Berlin melirik Tania, dia tidak menjawab dengan kata ya atau tidak, ia menghela napas. Ini seperti pertanyaan yang lebih susah dari soal ujian tadi, kalau ia jawab tidak—itu sama saja dia berbohong, tapi kalau dia jawab iya, maka ia hanya membuat Tania dan Sari makin merasa gagal.

Tania bersiap ingin menimpal, sesaat sebelum handphone Berlin yang berada di atas meja berdering, memperlihatkan nomor tak dikenal yang menghubunginya.

Berlin melirik sekilas, tanpa payah-payah, dia menolak panggilan itu. Membuat alis Tania terangkat sebelah, untungnya Tania paham dengan sifat Berlin, sehingga ia merasa tak perlu ikut campur.

Sekali lagi handphone Berlin berdering, melihat seberapa cepat Berlin menolak panggilan itu. Tania rasa, itu nomor yang sama seperti panggilan di awal.

Empat kali panggilan itu berulang datang dan sebanyak empat kali juga Berlin menolak.

"Siapa sih, Lin?" Sari duluan buka mulut, mungkin karena ekspresi Berlin terlihat risih. Makanya Sari putuskan untuk bertanya.

"Adalah, orang nggak penting," jawab Berlin menutupi. Bukan apa-apa, hanya saja Berlin tidak tahu harus memulai darimana menceritakan kepada kedua sahabatnya bahwa kini ia terikat dengan Gerhana—Ketua BEM kampusnya, cowok yang selama seminggu setelah terpilih menjadi topik obrolan hangat antara kedua sahabatnya itu.

"Kalau udah berapa kali nelpon kayak gitu, pastinya penting," sambung Tania. "Kenapa nggak coba angkat?"

Belum lama setelah pertanyaan Tania, nomor itu kembali muncul di layar, mempertegas ucapannya barusan. Sari dan Tania sama-sama terpaku menatap layar handphone itu, lantas melirik Berlin yang mengembuskan napas jengah.

Akhirnya, Berlin mengambil juga handphone. Tak mau ada kecurigaan antar kedua sahabatnya, Berin memilih bangkit dari tempat duduk dan mencari tempat yang lebih privasi untuk menjawab panggilan.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang