23. Melaluinya Bersama

15.9K 2.9K 1.9K
                                    

Bagian Dua Puluh Tiga

Terkadang sebuah rasa hanya perlu disimpan dan perlahan mulai dilupakan, bukan karena tidak ingin berjuang, hanya saja tahu bahwa dirimu bukanlah yang dia inginkan—Berlin Ghazefa Lifen Soekotjo

Ada banyak kesedihan yang cara menyembuhkannya hanya perlu dengan sendirian-Gerhana Sabrang Assegaf

Penyegaran, aku kasih gambaran dulu Berlin dan Gerhananya.

Penyegaran, aku kasih gambaran dulu Berlin dan Gerhananya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Senandi Rasa-

Ada yang bilang bahwa akting terbaik manusia adalah berpura-pura tidak tahu. Cara terbaik menghindari versi manusia adalah berpura-pura tidak peduli.

Berlin pikir itu masuk akal. Seharusnya, entah lah dia benar-benar tidak ingin tahu dan tidak peduli. Atau mungkin, semua ini hanya  kepura-puraan ketika dia mengintip mobil Gerhana baru saja berhenti tepat di depan teras rumahnya.

Menarik napas dalam, Berlin berusaha menampilkan ekspresi sedatar mungkin ketika membuka pintu dan yah ... ternyata Gerhana juga sudah menyambutnya dengan ekspresi yang tak kalah datar.

"Ngapain lo ke sini?"

Gerhana terdiam selama beberapa detik, mengambil jeda lantas berbicara. "Lo sendirian lagi?"

Berlin tahu semua itu hanya basa-basi. Gerhana bisa lihat sendiri kalau rumahnya itu selalu sepi.

"Gue capek, mau istirahat mending lo pulang aja," usir Berlin dengan pandangan mata mengarah ke tempat lain. Dia benar-benar lelah, tidak ada tenaga untuk meladeni Gerhana.

"Lo suka sama Randi?" ceplos Gerhana terlalu cepat.

Berlin menoleh, memandang Gerhana dengan bola mata membulat, kemudian mendecih.

"Nggak penting," kata Berlin.

Gerhana menghela napas, "Menurut lo ini nggak penting?"

"Iya. Ini malam, mending lo balik karena gue banyak tugas kuliah." Dua kali sudah, Berlin mengusir Gerhana.

"Lo marah?"

Tangan Berlin yang tadi bersiap meraih gagang pintu untuk ditutup dan menyudahi pertemuannya dengan Gerhana tertahan, "Kenapa gue harus marah?"

"Gue datang ke tempat Kayana, mungkin," balas Gerhana dengan suara pelan.

Berlin mengangkat bahu, geleng-geleng kepala.

"Jangan terlalu percaya diri," tukas Berlin.

"Gue nggak percaya diri, tapi gue hanya berusaha menilai."

"Kalau gitu jangan menilai, karena penilaian lo jelas salah. Gue nggak masalah dengan itu, memangnya penting banget gue harus peduli dengan apa yang lo lakuin?" cetus Berlin. Dia rasa, Gerhana tidak perlu selebay itu datang ke rumahnya hanya untuk bertanya hal bodoh seperti ini.

Senandi RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang