Cewek pendek kayak lo yang cuma sebatas bahu gue, patut gue kurung. Karena lo istimewa.
~Adelio Orlando Adhitama~
<>
"Della!" teriak Veli dari arah belakang, sosok yang dipanggil pun menoleh ke arah sumber suara.
Di sana terlihat kedua sahabatnya yang tengah berlari menuju ke arahnya.
Namun, pandangan Della terkunci pada sosok laki-laki di belakang keduanya. Laki-laki tersebut tersenyum manis membuat desiran hangat menjalar di tubuhnya.
Della tersentak saat sebuah tangan berada di pundaknya. Saat ingin melihat laki-laki itu lagi, sosok itu sudah tidak ada dalam penglihatannya. Entah kemana perginya laki-laki itu, padahal belum sempat ia membalas senyumannya. Jangan kan untuk membalas, melihatnya saja ia langsung terhipnotis.
"Liatin apa sih lo, Del?" tanya Veli mengikuti arah pandang Della. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana.
"Eh enggak kok," balasnya berusaha mengelak. Bukan Veli namanya jika ia percaya begitu saja. Buktinya, sekarang saja matanya sudah memicing menatap Della curiga.
"Udah ah, ntar keburu masuk lagi."
Veli mengangguk setuju walau pada kenyataannya dia tidak begitu percaya pada sahabat satunya itu. Bukan karena apa, Veli hanya tidak ingin Della menyembunyikan sesuatu darinya.
"Pulang sekolah jalan, mau nggak?" tawar Veli antusias.
"Berhubung kita sekarang nggak pernah lagi jalan bareng. Ya kan?"
Jalan? Bareng? Sepulang sekolah? Tidak. Della tidak bisa. Ada hal penting yang harus ia kerjakan. Kewajibannya sekarang sudah menambah satu. Yaitu mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
"Del, kok lo melamun sih?" ujar Nita setelah melihat ke arah Della. Tatapan gadis itu lurus ke depan seperti tengah memikirkan sesuatu yang mereka berdua tidak ketahui.
"E-Enggak kok," jawab Della kikuk.
"Lo mikirin apa sih, Del?!" geram Veli melihat keanehan pada sahabatnya itu. Seperti ada yang disembunyikan. Mungkin.
"Gue nggak mikirin apa-apa. Lo berdua kalo mau jalan, jalan aja nggak apa apa. Gue nggak bisa ikut. Maaf ya," ujar Della merasa bersalah. Bagaimana lagi? Orang tuanya mengusirnya tanpa memberikan uang sepeser pun. Jadi, gadis itu mau tidak mau harus membiayai hidupnya sendiri. Miris memang, keluarga sendiri menganggapnya seperti orang lain. Orang lain justru menganggapnya seperti keluarga sendiri. Senang, sedih, kecewa, marah bercampur menjadi satu.
"Yah, padahal gue mau jalan bareng bertiga," keluh Veli.
"Next time gue usahain bisa. Tapi untuk hari ini, gue nggak bisa." Della benar-benar merasa bersalah. Di satu sisi ia ingin menerima tawaran sahabatnya itu, namun di sisi lain ia harus bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
<><><>
"Ikut gue!" ujar Lio dingin, tangannya mencekal pergelangan tangan Della.
Gadis itu meringis kesakitan. Pasalnya, laki-laki di depannya ini bukan hanya mencekalnya saja. Bahkan, dia menyeretnya menuju lapangan.
Tunggu, Lapangan? Untuk apa dia membawanya ke sini? Ada apa? Apa dia melakukan kesalahan besar sehingga Lio begitu marah kepadanya? Jika iya benar, ia berharap Tuhan mengirim seseorang untuk membantunya pergi dari lapangan yang sudah mulai dikerumuni oleh siswa siswi lainnya. Tidak bisakah laki-laki itu menegurnya di kelas saja? Mengapa harus repot-repot membawanya kemari?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fredella
Teen FictionKeharmonisan kerap kali disebutkan pada sebuah hubungann yang berjalan tanpa diiringi masalah. Namun apakah pernah terpikir bahwa akan ada sebuah luka pedih yang menghantam di kehidupan selanjutnya? Memberi harapan dengan menyembunyikan kenyataan i...