Sesakit ini ternyata mencintai orang yang sama dengan sahabat sendiri.
~Fredella Karolina~
<>
Satu tetes mulai merembes keluar menjelajah di pipinya. Menatap keluar dari balik jendela kamarnya. Duduk termenung dengan pemikiran kalut yang terus terngiang di benaknya.
Hujan turun dengan derasnya. Ingin sekali gadis itu turun membasahi diri di bawah guyuran hujan, berteriak di bawah naungannya, menangis tanpa orang lain tahu.
Dinginnya angin malam yang mulai menusuk tidak ia pedulikan. Gadis itu mengerjap sejenak, tangannya menyapu kasar jejak air mata yang sedari tadi mengalir di pipi nya.
Kakinya ia langkahkan menjauhi jendela. Berjalan menuju meja rias, duduk menghadap cermin. Begitu jelas pantulan dirinya di sana.
Tangannya terulur mengusap pantulan dirinya di depan sana.
"Aakhhh!"
Gadis itu mencengkeram kuat rambutnya sendiri, ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Masalah di hidupnya benar-benar membuatnya gila.
Tidak kah semesta tahu, bahwa dirinya tersiksa dengan keadaannya sekarang?
Gadis itu meluruhkan dirinya, terduduk di lantai. Merasakan dinginnya lantai yang merembes masuk dalam tubuhnya.
Tangannya mendekap hangat foto dirinya bersama kedua sahabatnya. Dirinya tak menyangka bahwa akan berakhir seperti ini.
Tangan kanannya meninju kuat dinding di sampingnya. Merasa belum puas, dirinya menjatuhkan gelas yang ada di meja rias menjadi bongkahan kecil yang tajam.
Della mulai memungut pecahan gelas tersebut, menggenggamnya sekuat mungkin hingga darah segar mengalir di tangannya.
Perih yang menjalar nyatanya tak sebanding dengan apa yang ia rasakan selama ini. Keluarganya, sahabatnya. Semuanya mulai meninggalkannya.
Ia tidak begitu menekan seseorang untuk terus bersama nya, tetapi ia berharap seseorang itu untuk tidak berubah. Gadis itu yakin, perubahan yang membuat seseorang kehilangan. The change is real.
Sekali lagi, gadis itu menatap lamat-lamat foto tersebut. Semua kenangan manis seakan berputar kembali, dimana ketiga nya tertawa bersama dan saling bertukar cerita.
"Dulu gue pernah janji sama diri gue sendiri, Nit. Kalo gue akan jaga persahabatan kita. Tapi nyatanya, gue ingkar sama omongan gue sendiri, gue nggak bisa jaga itu. Gue gagal nepatin janji itu. Maafin gue." Della terisak, tangan mungilnya tak henti mengusap figur foto di sana.
Bersamaan dengan itu, Arsa masuk dengan membelalakkan mata nya. Berdiri di belakang gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Bahkan Della belum menyadari kehadirannya.
Arsa menatap sebelah tangan Della yang menggenggam pecahan itu, darah segar tak henti nya mengalir tetapi gadis itu enggan melepasnya.
Tatapannya terus saja tertuju pada figur foto, tanpa berniat untuk mengalihkan sedikit pun dari sana. Air matanya pun sudah menjalari pipi nya.
"La?"
Arsa tidak bisa menahan diri untuk mendekap tubuh seseorang di hadapannya. Sebelah tangannya ia gunakan untuk melepas genggaman Della pada pecahan gelas. Perlahan ia lakukan walau sulit, bahkan jarinya sendiri ikut tergores. Tidak berhenti disitu, Arsa terus berusaha melepas lalu menyingkirkan pecahan gelas menggunakan tangannya. Dan berhasil.
Arsa tidak marah kepadanya, laki-laki itu justru marah kepada dirinya sendiri. Marah karena tidak bisa menjaga Della dengan baik, marah karena tidak bisa selalu ada untuk Della, dan marah karena ia tidak datang tepat waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fredella
Teen FictionKeharmonisan kerap kali disebutkan pada sebuah hubungann yang berjalan tanpa diiringi masalah. Namun apakah pernah terpikir bahwa akan ada sebuah luka pedih yang menghantam di kehidupan selanjutnya? Memberi harapan dengan menyembunyikan kenyataan i...