Entah Della harus merasa senang atau sedih karena Lio terus berada di sampingnya. Senang karena Lio selalu mampu membuatnya kembali tertawa dan melupakan semuanya. Sedih karena ia tak tega melihat Lio ikut menjadi perbincangan semua orang.
"Kantin yuk, mau nggak? Lo laper kan?"
"Laper lah, tapi gue nggak mau makan, gimana dong?" rengek Della.
"Laper ya makan, oon," geram Lio mencubit pipi Della gemas.
"Lo yang oon, lo nggak peka sih, dibujuk kek, bego dipelihara."
"Apa tadi? Coba ulang sekali lagi, gue nggak denger lo ngomong apa."
"Nggak ada pengulangan, lo budeg sih," kesal Della.
"Ekhem! Dunia serasa milik berdua ya," sindir Veli.
"Lo mau ikut kita ke kantin nggak?"
"Lo duluan aja Vel sama Nita, gue ntar nyusul."
"Ya udah, yang mau berduaan mah beda ya. Haha!" Veli tidak marah karena Della sekarang lebih sering berada di kelas daripada ikut dengannya ke kantin. Veli memaklumi itu, gadis itu mungkin belum siap menghadapi semua orang yang menjelek-jelekkannya. Veli pun tidak mempermasalahkan Della yang sering bersama Lio daripada bersamanya atau pun bersama Nita. Veli bahkan merasa senang akhirnya gadis itu kembali tertawa walau bukan karena dirinya.
"Ya udah, kantin yuk. Kasian mereka nanti lama nunggunya." Della mengangguk saja. Toh dia merasa perutnya harus diisi sekarang juga.
Della berusaha menegarkan hatinya, menulikan pendengarannya untuk sementara, semua orang yang dilaluinya selalu mencibirnya, memakinya, bahkan terang-terangan menjelek-jelekkannya.
Lio selalu ada di sampingnya, melindunginya, menguatkannya, menenangkannya, dan membahagiakannya.
"Lio!" teriak seorang perempuan yang tengah berlari menghampirinya. Perempuan itu menatap sinis Della tanpa peduli ada Lio disana. Lio yang menyadari itu langsung merangkul pinggang ramping Della.
"To the point!" ketus Lio dengan mimik wajah datar.
"Lo dipanggil Bu Winda sekarang."
"Oke."
"Lo boleh pergi sekarang."
Perempuan itu meneruskan jalannya dengan sengaja menyenggol bahu Della. Segitu buruknya Della di mata semua orang? Mengapa tidak ada yang mengerti? Tidak, hanya kakak, sahabat, saudara, dan Lio yang mengerti. Selebihnya tidak. Della tersenyum simpul meratapi kehidupannya yang miris. Bahkan komunikasi dengan kedua orang tuanya sudah terputus.
"Del, lo ke kantin duluan nggak apa-apa? Gue mau nemuin Bu Winda. Atau lo mau ikut gue ke ruang guru?" Della menggeleng, gadis itu tersenyum membuat Lio gemas terhadapnya. Entah mereka memang sudah ditakdirkan bersama atau hanya kebetulan saja, yang pasti mereka sama-sama bahagia, saling merangkul, ada di dalamnya untuk membantunya keluar dari masalah yang hinggap.
Lio memusut pelan kepala Della sebelum pergi menemui Bu Winda, Della tersenyum tipis menatap punggung lelaki itu yang semakin hilang dari pandangannya. Baru saja satu langkah, seseorang menyeretnya menuju lorong yang sepi. Lorong ini salah satu jalan menuju gudang yang sudah tak terpakai, tentu saja tidak ada orang yang berlalu lalang di lorong sepi ini.
Brukkk
Della mendongakkan kepalanya untuk melihat jelas siapa yang tega melakukan hal seperti ini kepada nya. Namun sayang, sosok perempuan di depannya ini memakai topeng untuk menutupi wajahnya.
Sosok bertopeng itu berjongkok untuk menyetarakan tingginya dengan Della, tangan kanannya mencengkeram kuat rahang Della. Membuat Della mau tidak mau harus mendongak menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fredella
Teen FictionKeharmonisan kerap kali disebutkan pada sebuah hubungann yang berjalan tanpa diiringi masalah. Namun apakah pernah terpikir bahwa akan ada sebuah luka pedih yang menghantam di kehidupan selanjutnya? Memberi harapan dengan menyembunyikan kenyataan i...